itechmagz.id – Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) sedang mengembangkan satelit konstelasi Nusantara Equatorial IoT (NEI) untuk sistem peringatan dini bencana tsunami.
Peneliti Ahli Muda Pusat Riset Teknologi Satelit, Eriko Nasemudin Nasser mengatakan, satelit NEI direncanakan berjumlah 10 unit untuk mencakup seluruh wilayah Indonesia dan akan mengorbit di lintasan ekuatorial. Satelit yang beroperasi berjumlah sembilan unit, sedangkan satu satelit lainnya menjadi cadangan.
Satelit akan mengumpulkan data dari berbagai sensor seperti TEWS (Tsunami Early Warning System), AWS (Automatic Weather System), sensor peringatan gempa dan magnetometer.
“TEWS merupakan sistem peringatan dini tsunami. Terdiri atas sensor pasang surut yang dapat mendeteksi dan mengukur ketinggian air laut di pantai serta tsunamibuoy yang dapat mendeteksi gelombang di lautan secara aktual,” ujar Eriko dalam keterangannya pada Senin (20/05/2024).
Adapun sensor AWS, lanjut Eriko, merupakan sebuah perangkat yang secara otomatis mengirimkan informasi cuaca seperti kecepatan angin, tekanan udara, kelembapan, temperatur, dan curah hujan.
“Sedangkan peringatan gempa menggunakan seismograf untuk mendeteksi dan merekam gempa. Kemudian mengirimkan peringatan secara realtime kepada pusat informasi. Selain itu, terdapat magnetometer untuk mengukur medan magnet bumi yang dapat digunakan untuk memprediksi bencana,” tuturnya.
Eriko menyampaikan, misi kedua satelit NEI yaitu sistem komunikasi saat bencana. Pada saat kondisi darurat, sistem komunikasi yang bisa diandalkan adalah melalui satelit. Sistem komunikasi menggunakan voice repeater menjadi salah satu solusi alternatif yang murah dan mudah.
“Sistem ini telah dibuktikan oleh satelit LAPAN-A2 yang membantu komunikasi darurat pada saat kondisi tanggap bencana,” tambahnya.
Misi lain dari satelit NEI diungkapkan Eriko yaitu pengawasan maritim dan pemantauan pesawat udara.
“Pengawasan maritim dilakukan secara otomatis dengan membawa muatan AIS (Automatic Identification System) untuk memantau kapal sebagaimana telah dilakukan oleh satelit LAPAN-A2 dan LAPAN-A3,” terangnya.
Begitupun dengan misi pemantauan pesawat udara menggunakan satelit, dijelaskan Eriko, tidak jauh berbeda dengan misi pengawasan maritim. Perbedaannya hanya pada muatan yang diperlukan, yaitu ADS-B (Automatic Dependent Surveillance-Broadcast).
“ADS-B merupakan alat bantu navigasi untuk pengawasan posisi pesawat selama melakukan pergerakan, dan secara berkala memberikan informasi kepada alat navigasi di pesawat, pilot, dan Air Traffic Controller (ATC). Sistem tersebut diusulkan untuk meningkatkan kapabilitas penerimaan sinyal ADS-B tanpa harus membutuhkan dimensi perangkat yang besar. Sebuah mikrokontroler diintegrasikan pada sistem tersebut untuk mengatur dan mengolah data yang diterima,” paparnya.
Lebih lanjut Eriko mengungkapkan bahwa desain awal (preliminary design) satelit NEI sudah selesai sejak preliminary design review dilakukan (29 Desember 2020 – 22 January 2021). Sedangkan desain rinci (critical design) di level komponen telah dimulai sejak Februari 2021.
“Beberapa komponen seperti komponen muatan-muatan terkait AIS, ADS-B, dan IoT telah selesai di tahun 2023,” ujarnya.
Pada saat ini, tambah Eriko, dilakukan proses desain rinci (critical design) di level subsistem untuk muatan utama. Sedangkan untuk subsistem dibawah Sistem Bus sedang merampungkan desain rinci (critical design) di level komponen seperti baterai, solar panel dan system deployment, struktur utama, sensor dan actuator subsistem ADCS (Attitude Determination And Control System), propulsi, OBC (On-Board Computer) dan TTC (Telemetry, Tracking and Command).
“Tahun ini targetnya merampungkan desain rinci di level komponen. Sementara riset lainnya terkait efek radiasi di lingkungan orbit terhadap komponen elektronik, muatan satelit dan user terminal berbasis software design radio, solar panel deployment system and hold down release mechanism, Attitude and Orbit determination Control algorithm, dan lain-lain, masing-masing mempunyai target publikasi ilmiah dan kekayaan intelektual,” paparnya.
Eriko mengatakan, sistem satelit dioperasikan secara realtime melalui konstelasi sembilan satelit pada orbit ekuatorial dengan ketinggian 600 kilometer, sehingga dapat mencakup seluruh wilayah Indonesia. Untuk mendukung operasi realtime tersebut, disiapkan empat stasiun bumi pengendali di Bogor, Bukittinggi, Parepare, dan Biak.
Secara ekonomis, lanjutnya, penggunaan satelit ini akan meningkatkan efisiensi pembiayaan 9,5 kali lipat dibandingkan menyewa satelit asing. Selain itu, terdapat penghematan devisa kurang lebih 111 juta USD per tahun. Sistem ini pun akan mendorong industri sensor kebencanaan berbasis satelit di Indonesia secara mandiri.
Sumber: brin.go.id
Comments are closed.