Buku ‘Saya Bacharuddin Jusuf Habibie’, diluncurkan

113

Get real time updates directly on you device, subscribe now.

Jakarta, Itech- Andi Makmur Makka, kembali menulis buku tentang Bacharuddin Jusuf Habibie. Buku terbarunya berjudul “Saya Bacharuddin Jusuf Habibie (The Untold Story)” yang diluncurkan secara daring pada Sabtu, (29/1) dari The Habibie Center, Jakarta.

Peluncuran buku ke-56 yang ditulis Makmur Makka ini terselenggara berkat kerjasama The Habibie Center, Penerbit Republika, Dompet Dhuafa, dan Masyarakat Penulis Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (MAPIPTEK).

Buku ini selain ditulis berdasarkan penuturan BJ Habibie sendiri, juga mengisahkan berbagai sisi lain dalam perjalanan hidupnya dari sejak kecil, pada masa muda, hingga menjadi ilmuwan di jerman, dan sebagai eksekutif top di industri pesawat terbang di negara Eropa tersebut.

Habibie kemudian diminta Presiden Suharto kembali ke Indonesia untuk membangun industri strategis antara lain kedirgantaraan. Prestasinya ini dan peran pentingnya di pemerintahan kemudian mendorongnya untuk dipilih sebagai Presiden RI menggantikan Suharto.

Makmur Makka, tokoh pers yang cukup dekat dengan BJ Habibie sejak sebagai Menteri Riset dan Teknologi (Menristek)/Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) hingga menjadi Presiden ke-3 RI kemudian menuliskan penuturan Habibie dengan cermat. “Tulisan ini dilengkapi dengan hasil serangkaian wawancara selama 10 hari yang dilakukannya pada 2005,” tutur Makmur Makka yang pernah menjadi Staf Ahli bidang Informasi untuk Menristek/Kepala BPPT.

Pemimpin redaksi Harian Republika periode 1997-2000 itu telah menulis serangkaian karya tentang BJ Habibie, antara lain “Mr. Crack dari Parepare”, “Soeharto & Habibie”, “B.J. Habibie – the Power of Ideas” serta “Habibie: Kecil Tetapi Otak Semua”.

Dari 77 bab bukunya yang ke-56 tersebut, antara lain berjudul: “Tetangga Kami Pak Harto”, “Saya Ngotot ke Jerman”, “Metode, Fungsi dan Teori Habibie”, “Industri Dirgantara Hampir Gagal”, “Pola Pikir Pak Harto yang Sederhana”, “N-250 Tercanggih dalam Kelasnya”, “Bak Dunia Milik Siapa Sih”, “De-Habibinasi”, “Jika Saya Tidak Menyetujui Instruksi Pak Harto”, “Timor Timur Tidak Lagi Jadi Beban” hingga “Tidak Harus Seorang Presiden” yang dibatasi Makmur Makka pada warisan Habibie dari sisi iptek yang relevan dengan isu sekarang.

Makmur Makka mengaku telah menuliskan buku barunya tersebut hingga sekitar 1.000 halaman. Namun tulisannya terpaksa dipotong penerbit menjadi hanya 498 halaman, untuk penyesuaian harganya. Namun, ia menjanjikan akan melanjutkan menulis buku tentang BJ Habibie. “Perjalanan, tindakan dan pemikiran Habibie sangat penting untuk dituangkan dalam tulisan sebagai sumber inspirasi bagi generasi berikutnya,” tuturnya.

BJ Habibie, menurut dia, merupakan ilmuwan dan negarawan yang telah meletakkan fondasi berbagai kebijakan yang sangat dibutuhkan untuk kemajuan bangsa Indonesia.

Adsense

Rektor Universitas Multimedia Nusantara, Ninok Leksono Dermawan mengatakan peluncuran buku BJ Habibie kali ini bukan sekadar peluncuran buku, tetapi bisa memberi kesempatan kita mereaktualisasi gagasan Habibie yang diselaraskan dengan era kekinian.

Ia mendukung visi pembangunan yang diamanatkan Presiden pertama RI Soekarno, bahwa kemajuan bangsa dipengaruhi dua teknologi yaitu kedirgantaraan dan kemaritiman. “Habibie dahulu mampu menjadi pemimpin berbagai lembaga dengan fondasi Iptek dan menggagas banyak kebijakan serta memacu generasi muda menguasai iptek melalui program beasiswa keluar negeri,” kata Ninok.

Menurut Ninok ‘gemar iptek dan merekayasa’ ini saat ini sudah langka. Selain itu rasa cinta karya bangsa sendiri di masyarakat juga tidak ada, karena mereka beranggapan “kalau bisa beli mengapa harus bikin. Gagasan yang selalu didengungkan Habibie ini yang harus dibangkitkan lagi dan ditulis dalam buku-buku agar generasi berikutnya bisa kembali meminati bidang iptek,” imbuhnya.

Kepala BPPT periode 2014-2019, Unggul Priyanto mengatakan konsep Habibie yang juga menonjol adalah “memulai di akhir, berakhir di awal” yang bagi awam sulit dipahami. “Yang dimaksud Habibie adalah bahwa membangun tidak harus melakukan riset dari awal, tetapi bisa memulai dari tengah atau ujung, yang khususnya perlu diterapkan oleh negara berkembang seperti Indonesia,” terangnya.

Konsep ini, menurut Unggul, telah dipraktikkan oleh negara lain. China, misalnya, mengembangkan kereta api cepat dengan hanya membeli lisensi dari Jepang dan Jerman, lalu meningkatkannya dan sekarang kereta cepat Cina bahkan sudah mengalahkan buatan negara tersebut.

Habibie dulu juga berpikiran demikian dalam mendirikan industri kedirgantaraan yaitu mulai membuat pesawat buatan Spanyol Cassa 212, kemudian berinovasi membuat CN-235 hingga mandiri merancang bangun N-250, jenis pesawat yang canggih di kelasnya. “Jadi inovasi tidak perlu merupakan temuan baru, tidak harus diawali dengan temuan sendiri, tapi bisa merupakan pengembangan dan menjadi suatu produk baru yang lebih baik,” kata Unggul.

Habibie lalu membentuk lembaga BPPT yang memiliki tugas-tugas besar seperti sebagai konsultan teknologi negara, pendamping Bappenas, hingga sebagai clearing house untuk mem-back up berbagai industri strategis yang diinisiasinya yang perannya sangat besar. Habibie, juga membangun berbagai laboratorium pengujian di Puspiptek Serpong untuk mem-back-up IPTN dan industri strategis lainnya.

Pengkajian teknologi juga dilakukan BPPT antara lain dalam pembelian teknologi asing. Contohnya ketika TNI AU akan membeli pesawat tempur dengan duapilihan F16 buatan AS atau Mirage2000 buatan Rusia/Uni Soviet. “Ini harus dikaji secara teknologi dan harus disetujui oleh Habibie sebagai Kepala BPPT,” imbuhnya.

Namun sepeninggal Habibie peran BPPT semakin mengecil menjadi lembaga riset biasa. Beberapa perubahan kebijakan terjadi sejalan dengan pergantian pemerintahan dan Menritek/Kepala BPPT. Hingga puncaknya terjadi pemisahan Kementerian Ristek dan BPPT pada tahun 2015.

Peluncuran buku ini juga menghadirkan pembicara Bambang Setiadi (Mantan Ketua Dewan Riset Nasional (DRN) dan Badan Standardisasi Nasional (BSN)) serta Umar Juoro (Ketua Institut Demokrasi dan Ekonomi The Habibie Center) dengan moderator Edy Kuscahyanto (MAPIPTEK).-Red

Advertisements

Comments are closed.

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More