Jakarta, Itech- Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), dalam RPJMN 2020-2024, ditugaskan menjadi koordinator tiga Prioritas Riset Nasional (PRN) terkait Sistem Pemantau Radiasi Lingkungan untuk Keselamatan dan Keamanan (SPRKK) serta Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). Sedangkan pada bidang kesehatan, BATAN menjadi koordinator pengembangan produk radioisotop dan radiofarmaka.
Adapun output kegiatan di bidang kesehatan nantinya akan menghasilkan beberapa produk radioisotop dan radiofarmaka yang diharapkan dalam lima tahun ini mendapatkan izin edar. “Izin edar ini akan bergantung banyak hal, karena izin edar yang mendaftarkan bukan Batan. Batan hanya menghasilkan prototype yang akan ditransfer ke pihak BUMN atau yang lainnya. Memang begitu aturannya, Batan sebagai lembaga litbang tidak akan berbisnis,” terang Kepala BATAN, Anhar Riza Antariksawan Anhar dalam media briefing di Jakarta pada Rabu (22/1.
Selama kurun waktu lima tahun ini, BATAn menghasilkan 4 prototype produk untuk diagnosis maupun terapi. Salah satu, produk yang sedang dikembangkan Batan adalah Teknisium-99m (Tc-99m) yang saat yang sangat dibutuhkan di dunia kedokteran nuklir. “Tc-99m digunakan sebagai penanda untuk berbagai macam obat yang banyak digunakan untuk diagnosis. Tc-99m ini akan dikembangkan menggunakan metode baru dengan cara mengaktivasi Molibdenum (Mo) dari alam,” terangnya.
Sebelumnya, Batan telah memproduksi Tc-99m bekerjasama dengan PT Inuki (Industri Nuklir Indonesia), salah satu BUMN yang menghasilkan radioisotop dan radiofarmaka. Produk Tc-99m ini dihasilkan melalui proses iradiasi uranium menggunakan metode reaksi fisi (pembelahan). “Bahan dasarnya uranium yang kita masukkan ke dalam reaktor untuk diiradiasi. Karena uranium ini berinteraksi dengan neutron maka ada reaksi fisi. Salah satu produksi fisi adalah Molibdenum-99 (Mo-99) yang kemudian meluruh menjadi Teknisium,” tuturnya.
Lebih lanjut Anhar menambahkan, teknologi baru pembuatan Tc-99m yang sedang dikembangkan Batan tidak menggunakan uranium maupun fisi, tetapi menggunakan aktivasi Mo dari alam yang bukan radioaktif. Saat dimasukkan dalam reaktor dan diiradiasi dengan neutron, Mo tersebut akan menjadi Mo-99 radioaktif yang kemudian meluruh menjadi Tc-99m.
Perbedaanya, dengan aktivasi Mo alam tidak ada produk fisi dan tidak menggunakan uranium. Jika menggunakan uranium, selain Mo akan menghasilkan produk fisi berupa radioaktif lain yang harus diurus secara hati-hati. “Kalau dengan Mo alam tadi tidak ada produk fisinya, kalau ada pengotornya akan segera hilang. Jika dengan produk fisi akan menjadi limbah, sementara Mo alam limbahnya hampir nol, kalaupun jadi radioaktif umurnya pendek,” terang Anhar.
Di bidang kesehatan, Teknisium ini nantinya akan dimasukkan ke dalam tubuh bersama dengan obat untuk melakukan diagnosis. “Teknisium ini sebagai penanda karena dia mengeluarkan radiasi yang bisa ditangkap oleh detektor. Dari detektor itu bisa diolah hingga keluar gambar tiga dimensi sehingga bisa diketahui misalnya ukuran sel kanker dan bentuknya sepeti apa,” kata Anhar.
Jika sel kanker sudah ketahui bentuk dan ukurannya, fisikawan mediS bisa menghitung berapa dosis dan arah saat melakukan penyinaran radiasi. Jika dosisnya berlebihan, tak hanya sel kanker saja, sel sehat juga bisa terkena radiasi. Anhar menargetkan dalam dua atau tiga tahun Batan sudah memproduksi Teknisium dari Mo alam. Dalam pengembangan teknologi ini, Batan bekerjasama dengan PT Inuki dan perusahaan Jepang.
Teknologi baru ini juga sedang dikembangkan oleh beberapa negara. Ada negara yang mencoba menggunakan akselerator untuk menghasilkan neutron yang akan digunakan untuk mengaktivasi Mo. “Kita akan menggunakan reaktor RSG-GAS di Serpong. Kita sedikit berlomba dengan yang lain, kalau kita berhasil kita akan menjadi pionir,” pungkasnya. (red)
Comments are closed.