NUS Innovation Forum Bahas Peran AI terhadap Masa Depan Universitas
Jakarta, itechmagz.id ⎯ Pesatnya perkembangan kecerdasan buatan (AI) tengah membentuk kembali cara mengajar, belajar, dan berinovasi di lingkungan universitas. Pada penyelenggaraan NUS Innovation Forum (NIF) edisi Jakarta, para pemimpin universitas di kawasan dan praktisi industri berkumpul untuk mendiskusikan bagaimana institusi pendidikan tinggi dapat tetap relevan di tengah disrupsi teknologi yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Forum ini menjadi NIF pertama yang diadakan di Indonesia, sekaligus edisi ketujuh dari rangkaian forum sejak peluncurannya pada 2024, dengan tujuan memperkuat hubungan National University of Singapore (NUS) dengan komunitas alumninya di seluruh dunia.
Diselenggarakan oleh NUS Office of Alumni Relations, NIF Jakarta menghadirkan ratusan alumni, pemimpin pemikiran, dan pakar industri untuk melakukan diskusi mendalam dengan tema “Navigating the Age of AI”.
Dalam sambutan pembukanya, Presiden NUS, Profesor Tan Eng Chye, menekankan, “Saat AI mengubah cara pengetahuan diciptakan, diakses, dan diterapkan, universitas harus menghadapi pertanyaan tentang relevansi mereka. Termasuk bentuk, nilai, dan tujuan pendidikan tinggi itu sendiri.”
Forum ini juga menjadi momentum bagi universitas dan alumni untuk berbagi strategi, inovasi, dan praktik terbaik dalam menghadapi era AI, sekaligus membuka peluang kolaborasi baru yang berdampak pada pendidikan tinggi di Indonesia dan kawasan Asia Tenggara.
Universitas di Era AI
Salah satu sorotan utama NIF Jakarta adalah panel Rektor bertajuk “Peran Universitas dalam AI, Inovasi dan Pertumbuhan Ekonomi”. Panel ini menghadirkan Profesor Hamdi Muluk dari Universitas Indonesia, Dr. Danang Sri Hadmoko dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Profesor Lavi Rizki Zuhal dari Institut Teknologi Bandung (ITB), dan Presiden NUS Profesor Tan Eng Chye. Diskusi yang dimoderatori oleh Profesor Simon Chesterman, NUS Vice Provost (Educational Innovation) sekaligus Dekan NUS College, ini mengupas lebih jauh bukan hanya soal disrupsi teknologi, tetapi juga masa depan pembelajaran itu sendiri.
Untuk menggambarkan besarnya perubahan akibat AI, Profesor Tan menyinggung terobosan DeepMind dalam pemodelan protein yang berhasil memprediksi lebih dari 200 juta protein hanya dalam satu proses, sesuatu yang secara manual akan membutuhkan “lebih dari satu miliar tahun kerja para lulusan PhD”. Menurutnya, lompatan seperti ini menunjukkan betapa cepat AI dapat mempercepat penemuan ilmiah dan menegaskan perlunya universitas beradaptasi. Hanya di NUS, dalam dua tahun terakhir telah direkrut 134 anggota fakultas, termasuk 27 spesialis AI dan 53 peneliti yang mengintegrasikan AI ke dalam riset mereka.
Ia juga mengingatkan adanya bahaya yang lebih senyap di kalangan akademik: mahasiswa menggunakan AI untuk menghindari proses berpikir, bukan memperdalam keterampilan kognitif. Ia menyebut empat risiko, cognitive offloading, never-skilling, mis-skilling, dan de-skilling, yang harus diantisipasi universitas. “Belajar harus tetap menantang,” katanya. “AI tidak bisa menggantikan proses berpikir.”
Dari para perwakilan universitas Indonesia muncul pandangan bersama bahwa AI bukan sekadar perkembangan teknologi, tetapi juga perubahan filosofi. Profesor Zuhal menyatakan bahwa tren saat ini menuntut perombakan desain kurikulum. ITB telah melakukan pembaruan besar untuk mempersiapkan mahasiswa bekerja berdampingan dengan sistem cerdas.
“Kita tidak bisa terus mengajar seperti cara kita dulu diajar,” ujarnya. Ia mengakui masih banyak dosen menolak AI karena merasa kemampuan otaknya tetap memadai. Namun, menurutnya, hal itu tidak mengubah fakta bahwa pendidik harus menguasai AI karena mahasiswa sudah menggunakannya.
Dr. Hadmoko menekankan pentingnya riset terapan lintas disiplin, terutama pada persinggungan antara perilaku manusia dan teknologi. UGM menggabungkan ilmuwan komputer dengan pakar psikologi, teknik, kedokteran, farmasi, dan ilmu sosial untuk memastikan bahwa alat AI tidak hanya kuat secara teknis, tetapi juga relevan dan responsif terhadap kebutuhan pemangku kepentingan, serta berakar pada pertimbangan sosial.
Ia juga menyoroti biaya besar riset AI. Biaya komputasi cloud saja dapat melebihi anggaran operasional tahunan beberapa fakultas, dan sangat sedikit universitas di kawasan yang mampu melakukan pemodelan AI skala besar secara mandiri. Karena itu, kolaborasi multi-pihak bukan lagi pilihan, tetapi keharusan. Ia menegaskan pentingnya infrastruktur superkomputer bersama, klaster riset kolaboratif, dan pusat inovasi yang didukung industri.
Profesor Muluk menambahkan bahwa AI tidak hanya akan merefleksikan kekuatan manusia, tetapi juga kerentanannya. Ia mencontohkan kasus nyata anak muda yang mencari dukungan emosional dari sistem AI, terkadang berujung tragis ketika model berhalusinasi, salah menafsirkan maksud, atau memberi saran yang tidak aman. Pesannya jelas: kehidupan offline tetap penting, demikian pula interaksi langsung. Menurutnya, universitas harus berinvestasi pada penguatan ketahanan manusia melalui komunitas kampus, sistem dukungan rekan sebaya, pelayanan masyarakat, dan program kesehatan mental. “Kita harus membekali mahasiswa dengan kebijaksanaan,” ujarnya. “Dan kebijaksanaan bukan sesuatu yang bisa diberikan AI.”
Bisnis Inovasi
Panel kedua bertema “Ask Me Anything: Building Impactful Start-ups in an Uncertain World in the Age of AI” menghadirkan para pendiri startup di bidang bioteknologi, media teknologi, dan Internet of Things industri. Mereka memberikan pandangan langsung tentang apa yang diperlukan untuk membangun perusahaan yang tangguh di tengah perubahan teknologi yang cepat.
Dengan para pembicara, Adi Reza Nugroho, Co-founder dan CEO dari MYCL, David Setiawan Suwarto, Chairperson NUS Alumni Network Jakarta, Direktur PT SCM Tbk, CEO Sinemart dan MOJI, Pang Xue Kai, Co-founder dan CEO ForU AI, terakhir moderator oleh Danial Talib dari PIER71™, berbagi wawasan praktis tentang menghadapi ketidakpastian, membangun kepercayaan pengguna, dan memanfaatkan AI untuk mempercepat kreativitas serta pemecahan masalah manusia, bukan menggantikannya.
NUS Enterprise juga menyoroti ekspansi jaringan BLOCK71 yang kini mencakup 11 kota, termasuk Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta, serta menghubungkan para founder dengan mentor, investor, dan pasar internasional.
Keseluruhan diskusi di NIF Jakarta mencerminkan bahwa kawasan ini tidak hanya beradaptasi terhadap perubahan teknologi, tetapi juga berperan aktif dalam membentuknya. Forum ini melanjutkan seri yang sebelumnya telah berlangsung di Manila, San Francisco, Suzhou, Beijing, Shanghai, dan Tokyo, masing-masing mengangkat tema bagaimana inovasi dapat mendorong kemajuan ekonomi dan sosial lintas wilayah.
Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.