Jakarta, Itech- Komitmen untuk memberantas fintech ilegal terus disuarakan pemerintah, asosiasi dunia usaha, serta pelaku industri fintech. Hal ini diikuti upaya meningkatkan edukasi bagi masyarakat untuk mengenali Fintech Peer to Peer Lending (P2PL) yang aman dan mencegah penyalahgunaan data pribadi masyarakat.
Disisi lain, penggunaan layanan identitas digital yang aman seperti tanda tangan elektronik (TTE) yang tersertifikasi diyakini sebagai solusi yang dapat meminimalisasi peluang penyalahgunaan data pribadi karena mampu melakukan verifikasi data pengguna secara aman. Dalam jangka panjang, identitas digital yang aman dapat meningkatkan rasa aman dan kepercayaan masyarakat terhadap fintech dan optimisme terhadap ekonomi digital nasional.
Ardi Sutedja, Ketua dan Pendiri Indonesia Cyber Security Forum (ICSF) mengatakan, “Praktek penyalahgunaan data pribadi konsumen oleh fintech ilegal menjadi sumber berbagai masalah identity fraud, mulai dari kerugian materiil hingga berkurangnya rasa percaya masyarakat terhadap layanan keuangan digital yang legal. Disinilah layanan identitas digital yang aman memainkan peran kunci untuk mengembalikan dan bahkan memperkuat kepercayaan masyarakat.”
Ardi menambahkan bahwa para fintech dapat memanfaatkan layanan TTE tersertifikasi, proses e-KYC (Know Your Customer) atau verifikasi data terhadap penggunanya menggunakan sistem verifikasi biometrik berdasarkan data kependudukan dan deteksi kehidupan (liveness detection). Hal ini dapat diperkuat dengan penerbitan sertifikat elektronik sebagai bukti dari identitas digital terverifikasi yang sah dan dapat digunakan untuk melakukan tanda tangan elektronik
Sati Rasuanto – CEO dan Co-founder VIDA, Deputy Secretary General IV & Head of The Personal Data Protection Task Force at the Indonesian Fintech Association (AFTECH) mengungkapkan, “Dengan kemampuan memverifikasi data pengguna fintech, melakukan autentikasi dan tanda tangan secara digital, Penyelenggara Sertifikasi Elektronik atau PSrE seperti VIDA memiliki peran strategis sebagai trusted layer yang tidak hanya memberi rasa terlindungi saat bertransaksi secara digital, namun juga membantu pengguna berperilaku secara aman di dunia digital. Rasa aman ini menjadi krusial dalam membangun ekosistem ekonomi digital di mana setiap pemainnya memiliki rasa saling percaya. Apalagi mengingat bahwa aktivitas dalam fintech bersifat nirbatas dan tanpa tatap muka secara fisik.”
Sati menambahkan, di samping kepatuhan pada regulasi, prinsip digital trust dalam melindungi privasi dan keamanan data pengguna ini harus menjadi kesadaran bersama. Hal ini mengingat perlindungan data kini telah menjadi concern dari masyarakat pengguna platform digital, termasuk fintech. Untuk itu, edukasi tentang identitas digital yang aman perlu terus digalakkan baik oleh semua pihak, agar resiko-resiko yang terjadi seperti identity fraud dapat dimitigasi.
Hal senada juga diungkapkan oleh salah satu pelaku fintech, Dickie Widjaja, CIO Investree dan Deputy Secretary General Asosiasi FinTech Indonesia, dalam diskusi yang sama mengatakan, “Perilaku tidak bertanggung jawab yang dilakukan oleh fintech ilegal berdampak pada menurunnya rasa percaya masyarakat terhadap fintech. Padahal, fintech membawa potensi yang sangat besar baik bagi penggunanya maupun untuk pertumbuhan ekonomi digital di Indonesia. Di sinilah pentingnya layanan identitas digital berperan kuat dalam membangun rasa percaya masyarakat. Keamanan digital merupakan investasi jangka panjang karena mampu memberikan akuntabilitas dan kredibilitas kepada fintech, dan dalam skala yang lebih besar ikut meningkatkan keyakinan, rasa percaya, serta optimisme masyarakat terhadap layanan keuangan digital.”
Laporan McKinsey Global Institute pada tahun 2019 sudah pernah memperkirakan bahwa identitas digital dapat menghidupkan 50-70 persen potensi ekonomi di negara-negara berkembang, dengan kondisi tingkat adaptasi mencapai sekitar 70 persen. Bahkan, pemanfaatan identitas digital juga diperkirakan dapat menciptakan nilai ekonomi setara dengan 3-13 persen PDB di tahun 2030.
Gajendran Kandasamy, COO dan Co-Founder VIDA menjelaskan, “VIDA membawa misi utama untuk menciptakan sistem identitas digital yang terpercaya dan tanpa hambatan. Maka, kami menerapkan best practices untuk keamanan dan perlindungan data, di mana kami memastikan bahwa baik komponen teknis maupun legal harus terpenuhi. Kami mendesain user experience (UX) yang mudah dan nyaman namun tetap sejalan dengan elemen-elemen keamanan. Penting untuk dipahami bahwa desain UX sangat berperan dalam membentuk perilaku pengguna yang aman di dunia digital.”
Saat ini VIDA merupakan PSrE pertama di Indonesia yang juga memperoleh akreditasi WebTrust global untuk penerapan standar keamanan internet, dan menerapkan biometrik wajah dalam melakukan verifikasi dan autentikasi untuk memberikan kemudahan dan kenyamanan bagi pengguna. TTE VIDA juga satu-satunya yang diakui di lebih dari 40 negara, karena VIDA merupakan PSrE pertama dari Indonesia yang masuk dalam Adobe Approved Trust List (AATL) atau daftar rekan terpercaya Adobe. Dalam hal memberikan layanan verifikasi identitas, VIDA juga telah tercatat sebagai penyelenggara Inovasi Keuangan Digital (IKD) Tercatat Klaster e-KYC di OJK maupun regulatory sandbox di OJK dan Bank Indonesia, ujar Gajendran.
Dengan posisinya saat ini, VIDA memainkan peran strategis dalam memaksimalkan transformasi digital Indonesia, terutama dalam hal keamanan informasi dan privasi dengan memanfaatkan identitas bersertifikat digital yang aman dan terpercaya. (red)
Comments are closed.