Jakarta, Itech- Era 5G sudah di ambang mata dan menuntut semua pemangku kepentingan untuk bersiap dan mampu mengantisipasi tantangan serta peluang guna mengoptimalkan keunggulan teknologi yang dihadirkan. Salah satu isu relevan yang terus digencarkan edukasinya adalah tentang pentingnya literasi keamanan siber di semua kalangan, termasuk akademia. Isu lain yang mengemuka di kalangan industri adalah standardisasi keamanan perangkat jaringan.
Kritikalnya literasi keamanan siber dan juga standar verifikasi keamanan jaringan terutama di era 5G yang diperkirakan akan makin terkoneksi, mendasari digelarnya pelatihan dan lokakarya keamanan siber menyongsong era 5G oleh Institut Teknologi Del (IT Del) dengan menggandeng Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) serta penyedia solusi teknologi, informasi dan komunikasi (TIK) terkemuka dunia, Huawei. Pelatihan dan lokakarya sehari bertajuk ‘5G Cybersecurity Training’ yang diselenggarakan secara daring ini diikuti oleh lebih dari 200 peserta dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia.
Dibuka oleh Rektor IT Del Togar M. Simatupang, dan Cyber Security and Privacy Protection Officer (CSPO) Huawei Indonesia Syarbeni, pelatihan dan lokakarya ini menyampaikan paparan aktual antara lain tentang peran industri dan akademisi dalam mendukung strategi keamanan siber nasional yang disampaikan oleh Direktur Strategi Keamanan Siber dan Sandi BSSN Sulistyo, serta pengenalan teknologi 5G dan aspek keamanannya, termasuk standar keamanan perangkat jaringan yang berlaku global yaitu Network Equipment Security Assurance Scheme (NESAS) yang diinisiasi oleh GSMA.
Pada pelatihan dan lokakarya yang merupakan realisasi dari nota kesepahaman dan kesepakatan bersama antara BSSN-Huawei-IT Del ini, para peserta juga memperoleh pelatihan tentang progres dan evolusi 5G dari perspektif teknologi dan industri yang diampu oleh Jimmy Tan, Wireless Network Technical Senior Trainer Huawei.
Rektor IT Del, Togar M Simatupang mengatakan bahwa perekonomian Indonesia telah mengalami perkembangan pesat dibandingkan negara-negara tetangga dan diproyeksikan akan terus meningkat. Namun, mengingat angka kekurangan talenta keamanan siber yang mencapai lebih dari 2 juta orang di kawasan Asia Pasifik, Indonesia tidak boleh terlena dengan pertumbuhannya sehingga melupakan hal tersebut. Peta okupasi yang diterbitkan oleh BSSN, serta peluncuran Huawei ASEAN Academy Engineering Institute di Jakarta pada awal tahun ini, dinilai sebagai bukti nyata kesadaran pemerintah dan industri terhadap peningkatan kapasitas SDM selain membangun infrastruktur teknologi yang mumpuni.
“Kami juga sangat berterima kasih kepada BSSN dan Huawei Indonesia yang telah banyak berkontribusi bagi peningkatan kapasitas SDM, termasuk dengan menggandeng IT Del. Perjanjian kerja sama yang telah ditandatangani oleh ketiga belah pihak diharapkan akan melahirkan talenta-talenta yang cakap di bidang keamanan siber,” jelasnya.
Mengutip perkataan Mayjen TNI Dr. Roebiono Kertopati, pendiri Lembaga Sandi Negara yang menjadi cikal bakal BSSN, Direktur Strategi Keamanan Siber dan Sandi BSSN, Sulistyo, mengingatkan bahwa SDM di tingkat individu sekalipun memiliki peran yang sangat penting dalam menjaga keamanan negara. Oleh karena itu, dibutuhkan keahlian yang mumpuni, mentalitas yang tangguh, dan rasa tanggung jawab yang besar dalam diri masing-masing personel. Ini dapat diwujudkan melalui berbagai program pelatihan bersama yang melibatkan berbagai lapisan pemangku kepentingan.
“Sesuai dengan arahan Strategi Nasional (Stranas) Keamanan Siber, sinergi quad-helix antara pihak pemerintah, akademisi, pelaku industri, dan komunitas menjadi komponen utama dalam membangun ketahanan negara di ruang siber. Kami berterima kasih atas dukungan pihak swasta seperti Huawei yang juga turut andil dalam peningkatan kemampuan SDM Indonesia, khususnya di bidang keamanan siber lewat gelaran yang diadakan hari ini,” pungkasnya.
Syarbeni, CSPO Huawei Indonesia, menyampaikan bahwakepercayaan pada keamanan siber telah menjadi perhatian utama seluruh dunia seiring dengan dunia yang semakin lebih digital. Untuk itu, ia menekankan pentingnya pendekatan tanggung jawab bersama, serta diperlukannya mekanisme pengukuran keamanan siber yang terstandarisasi, efisien dan diakui secara global.
“Peluang yang dihadirkan teknologi masa depan seperti 5G, cloud dan AI diiringi pula dengan tantangannya tersendiri. Menghadapi berbagai tantangan tersebut tidak bisa dilakukan seorang diri. Diperlukan langkah bersama, dengan mengacu pada standar global seperti NESAS yang dikeluarkan oleh GSMA, untuk memastikan bahwa penilaian keamanan tidak hanya berdasarkan asumsi, namun berdasarkan fakta yang telah terverifikasi melalui metodologi yang telah diakui secara global,” tuturnya. (red)
Comments are closed.