Strategi Pemanfaatan EBT Menuju Net Zero Emission

138

Get real time updates directly on you device, subscribe now.

Jakarta, Itech- Kebutuhan energi Indonesia yang terus meningkat, penyediaannya masih didominasi oleh energi fosil. Di sisi lain, Indonesia telah berkomitmen untuk turut berkontribusi dalam penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) pada tahun 2030 sebesar 29%. Karena itu, pemerintah terus mendorong pengembangan dan pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT).

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengatakan bahwa Indonesia memiliki sumber EBT yang cukup besar berasal dari surya, hidro, panas bumi, bioenergi, angin, laut, dan lain-lain. Sayangnya, masih banyak potensi EBT yang belum dikembangkan. Sebagian besar pemanfaatan EBT berasal dari energi hidro, panas bumi, dan bioenergi.

“Memang kita harus meningkatkannya, karena pada 2020 kontribusi energi baru dan terbarukan kita baru mencapai 11,20 persen, sementara kita punya target nasional pada 2025 mencapai 23%. Target ini cukup berat karena saat ini kita mengalami dampak dari pandemi Covid-19,” kata Arifin kata Pekan Inovasi Energi Baru dan Terbarukan Indonesia yang digelar Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) secara daring pada Selasa (27/7).

Pada pertemuan G20, Indonesia berkomitmen akan terus berupaya mengatasi isu-isu terkait energi, teknologi cerdas dan bersih, dan pembiayaan di sektor energi sebagai langkah-langkah dalam mendukung pencapaian target Paris Agreement. Untuk mewujudkan komitmen tersebut, Arifin mengatakan bahwa Indonesia harus mengurangi emisi gas rumah kaca dengan melaksanakan program-program secara menyeluruh dan efektif sesuai target Paris Agreement, serta mempercepat peningkatan teknologi inovatif.

Arifin berharap BPPT dan BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional) bisa menjadi driven factor yang bisa mempercepat inovasi teknologi untuk bisa memanfaatkan sumber-sumber potensi energi baru terbarukan. “Kita juga punya target Paris Agreement yaitu menurunkan emisi gas rumah kaca 29% dengan kemampuan sendiri atau 41% dengan bantuan internasional pada 2030,” tuturnya.

Arifin mengungkapkan bahwa Indonesia memiliki potensi EBT hingga 400 gigawatt (GW) namun yang dimanfaatkan baru 11,2 persen. Saat ini, energi surya yang mendominasi potensi tersebut. Di lain sisi perkembangan teknologi untuk energi surya ini cukup besar dan menunjukkan competitiveness yang cukup tinggi. “Kita berharap nanti sistem storagenya bisa mengikuti. Dengan adanya storage system yang memadai dan cukup kompetitif maka ini akan bisa merespon sedemikian besar penyerapan energi bersih dan terbarukan,” katanya.

Lebih lanjut Arifin menerangkan bahwa pemerintah telah menyusun Grand Strategi Energi Nasional berdasarkan beberapa tantangan krusial di masa depan karena kebutuhan energi yang meningkat sementara pasokan energi terbatas. Misalnya, produksi minyak mentah (crude) menurun, sementara impor crude dan BBM jenis gasoline meningkat. Indonesia juga masih mengimpor liquified petroleum gas (LPG). Infrastruktur gas dan listrik di Indonesia juga belum terintegrasi.

Adsense

“Infrastruktur kita antara listrik dan gas belum terintegrasi dengan baik sehingga diperlukan upaya-upaya untuk bisa mengintegrasikannya sehingga lebih efisien dan manfaat energi ini bisa dimanfaatkan oleh masyarakat. Misalnya, sekarang kita pasang jaringan gas untuk bisa mendukung kebutuhan memasak di rumah tangga untuk bisa menggantikan LPG,” terang Arifin.

Indonesia sebenarnya mempunyai sumber energi fosil yaitu batubara yang murah, tetapi memberikan dampak emisi yang paling besar. “Sekarang semua negara-negara umumnya di dunia menuntut untuk dihentikannya pembangkit listrik tenaga uap yang memanfaatkan batubara. Di lain sisi kita masih mempunyai ratusan miliar ton deposit batubara,” lanjutnya.

Karena itu, menurut Arifin, perlu terobosan teknologi untuk bisa memanfaatkan batubara tanpa menghasilkan emisi. Kita juga harus mengalihkan pemanfaatan energi listrik yang bersumber dari EBT untuk sektor transportasi dan kebutuhan rumah tangga. ”Saya yakin dengan pemanfaatan sumber energi baru terbarukan akan memberikan dampak efisiensi cost yang besar,” tegasnya.

Net Zero Emission

Pemerintah Indonesia berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca sebagaimana tertuang dalam Nationally Determined Contribution (NDC). Untuk mendukung pencapaian net zero emission, Kementerian ESDM menyusun beberapa strategi, diantaranya mandatori biodiesel, co-firing PLTU, pemanfaatan Refuse Derived Fuel (RDF), penggantian diesel dengan pembangkit listrik energi EBT, dan lain-lain. “Untuk menuju net zero emission maka bahan bakar fosil berangsur-angsur harus dikurangi dan selanjutnya digantikan sumber EBT. Untuk itu, perlu ada masa transisi agar sumber EBT bisa dimanfaatkan tanpa menimbulkan masalah-masalah teknis dan sosial,” kata Arifin.

Menurutnya, untuk menuju energi hijau, kita harus segera mensubtitusi energi primer/final kemudian mengkonversi energi primer fosil, serta menambah secara besar-besaran kapasitas EBT. Teknologi listrik tenaga surya (photovoltaic) misalnya, sekarang sudah maju pesat, karena itu pihaknya mendorong pemanfaatan Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap.

Kepala BRIN Laksana Tri Handoko pada kesempatan tersebut mengatakan bahwa BRIN telah menyiapkan riset prioritas EBT dalam Prioritas Riset Nasional 2020-2024. Pemanfaatan EBT diyakini dapat memberikan solusi energi di masa depan dan memberikan banyak manfaat, tidak hanya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, namun juga manfaat bagi lingkungan. “Untuk memenuhi kebutuhan energi Indonesia di masa depan, BRIN akan memperkuat ekosistem riset dan inovasi energi baru terbarukan. Selain mengurangi emisi, pemanfaatan EBT juga mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, dan menciptakan lapangan kerja baru,” terang Handoko. (red)

Advertisements

Comments are closed.

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More