Jakarta, Itech– Hasil survei Bank Indonesia Maret 2021) menyebutkan sebanyak 87,5 persen UMKM terdampak pandemi Covid-19. Dari jumlah ini, sekitar 93,2 persen di antaranya terdampak negatif di sisi penjualan. Pandemi memberi tekanan pada pendapatan, laba, dan arus kas hingga para pemilik usaha memilih untuk wait and see. Namun demikian, masih terdapat sisi positif. Yakni 12,5 persen usaha tidak terkena dampak ekonomi akibat pandemi Covid-19, bahkan 27,6 persen di antaranya menunjukkan peningkatan penjualan.
Sementara itu, data BPS menyebutkan bahwa terdapat sektor yang tidak hanya tumbuh di masa pandemi, tetapi pertumbuhannya lebih tinggi daripada sebelum pandemi. Sektor tersebut adalah jasa kesehatan dan kegiatan sosial yang tumbuh 11.6% dari sebelumnya 8.7%) dan informasi dan komunikasi yang tumbuh 10.6% dari sebelumnya 9.4%.
Contoh bidang usaha yang mengalami pertumbuhan antara lain marketplace seperti tokopedia, shopee, bukalapak, groceries yakni sayurbox, tanihub, brambang, bidang retail klikindomaret, alfacart, healthtech halodoc, edutech ruang-guru, zenius, collaboration tools zoom, dan logistik. Salah satu simpul terpenting untuk mengurai kompleksitas permasalahan terkait pandemi adalah kemampuan beradaptasi, berkolaborasi dan mengedepankan solusi berbasis inovasi dan teknologi.
Apalagi, Social entrepreneur kini telah menjadi bagian dari kewirausahaan (entrepreneur), pergeseran ini terjadi saat banyak orang memilih untuk berwirausaha namun tetap mempertimbangkan aspek sosialnya. Sehingga model bisnis ini tidak hanya memberikan benefit bagi pelaku wirausaha sosial (Sociopreneur atau Socialpreneur), namun juga menjawab permasalahan yang dihadapi masyarakat.
Karenanya, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) melalui Balai Inkubator Teknologi (BIT) mendorong tumbuhnya perusahaan rintisan atau startup teknologi baru dan kewirausahaan di bidang sosial. Startup ini diharapkan mampu memberikan solusi terhadap persoalan yang ada di tengah masyarakat. “Balai Inkubator Teknologi ditugaskan untuk membantu dan mendampingi calon wirausaha yang ingin memulai bisnis barunya dengan memanfaatkan teknologi terkini,” kata Kepala BPPT, Hammam Riza dalam Webinar bertajuk Pengembangan Startup dan Social Entrepreneurship di Indonesia di Jakarta, (4/8).
Dalam proses pendampingan tersebut, ada proses inkubasi teknologi yang merupakan salah satu wahana untuk intermediasi dan komersialisasi teknologi sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 32 dan 33 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. ” Socialpreneur turut mendorong upaya pengentasan kemiskinan. Selain itu jenis usaha ini juga turut berkontribusi dalam pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs),” ujar Hammam.
Dalam webinar tersebut pembicara lainnya Dihqon Naadamist, CEO Cleansheet mengatakan bahwa selama pandemi terjadi peningkatan panggilan jasa membersihkan perabotan rumah tangga melalui platform yang ia bangun. Dihqon mendirikan Cleansheet berawal dari pengalamannya saat mejadi mahasiswa Bidikmisi di IPB ingin mencari penghasilan tambahan di sela-sela kuliah, karena kesulitan keuangan. Ia juga berkeinginan membantu sesama mahasiswa Bidikmisi yang mengalami persoalan serupa. Maka lahirlah usaha Cleansheet.
Sedangkan Dessy Alliandrina dari Sociopreneur Indonesia menjelaskan bahwa awal didirikan Sociopreneur Indonesia berawal dari klub pemuda Technopreneurship for Youth (TFY). Programnya mempromosikan kewirausahaan sosial ke segala usia dari anak, remaja, dan dewasa lewat penelitian dan pengembangan program-program yang dibentuk. Seperti mengedukasi anak-anak sejak dini menjadi inovator, kreator, teknopreneur. (red)
Comments are closed.