Jakarta, Itech- Deputi Bidang Teknologi Informasi, Energi dan Material (TIEM) BPPT, Eniya Listiani Dewi mengatakan bahwa BPPT telah berperan aktif dalam pengembangan pilot plan untuk EBT bersama Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Satu diantaranya yang telah diterapkan Balai Besar Teknologi Konversi Energi (B2TKE) BPPT adalah teknologi Smart Grid di kawasan Puspiptek Serpong, Tangerang Selatan. Inovasi teknologi Smart Grid diperlukan untuk mendukung peningkatan integrasi energi terbarukan skala besar dalam sistem ketenagalistrikan.
“Pengembangan ini diperlukan untuk mendorong upaya dalam memenuhi target 23 persen bauran EBT pada 2025,” kata Eniya, dalam webinar bertajuk Inovasi Energi Baru Terbarukan di Jakarta, Kamis (29/7). Webinar terdiri dari tiga topik. Pertana Tantangan SPKLU dengan Pemanfaatan PLTS Atap. Topik kedua: Biogas Solusi Lingkungan dan Energi Hijau Masa Depan dan Topik Terakhir: Co-firing Biomass dan Batubara Guna Mewujudkan Net Zero Emission di Sektor Pembangkitan Listrik.
Selain itu, BPPT juga menghadirkan konsep pengembangan kapasitas listrik dengan baterai. “Kombinasi photovoltaic dengan baterai itu kita hadirkan di Sumba, di situ kita sudah bisa membuat satu konsep bahwa baterai ini bisa diperpanjang lifetime-nya dua kali lipat lebih dari yang biasanya,” kata Eniya. Peningkatan daya tahan baterai ini bisa lebih maksimal jika menggunakan konsep replacement baterai.
juga memanfaatkan potensi sumber daya EBT yang dimiliki daerah Parangracuk sebagai model pengembangan EBT sekaligus sarana wisata edukasi yang diberi nama ‘Baron Techno Park’. Nama Baron Techno Park dipilih karena daerah kaya sumber daya EBT ini berdekatan dengan Pantai Baron di Yogyakarta.
Sementara itu, Direktur Aneka EBT , Kementerin ESDM, Chrisnawan Anditya menyampaikan integrasi EBT dengan jaringan listrik perlu dibangun dengan cermat. “Saat ini PLTS atap menyebabkan permasalahan karena jaringan listrik kita tidak memiliki pengaturan tegangan rendah, sehingga membutuhkan aplikasi smart grid. Oleh sebab itu perlu dibangun konsep smart grid yang implementatif untuk CS atau Charging Station, ” katanya.
Pada kesempatan yang sama Riza dari BPPT menjelaskan mengenai meningkatnya jumlah Kendaraan Bermotor Listrik (KBL) . Di luar negeri meningkat secara signifikan karena adanya kebijakan pembatasan (ICE), insentif dan infrastruktur yang memadai. Hampir semua pabrikan otomotif telah memiliki KBL-nya. Begitupun juga perusahaan non otomatif juga telah banyak masuk ke bisnis KBL. Misalnya. Huawei, Sony, Xiaomi dan Samsung
“Di Indonesia juga pengguna KBL diperkirakan akan meningkat, terutama ketika harga KBL semakin kompetitif. Perkembangan di atas akan semakin banyaknya SPKLU atau charging station (CS) yang perlu di pasang,” katanya seraya menambahkan, bahwa Perangkat CS bukan haya perangkat catu daya yang hanya sekedar menyarlurkan daya dari perangkat CS ke EV, Namun diperlukan sistem back end (charging station management system) untuk dapat mengoperasikan dan memantau CS, diperlukan Front End untuk interaksi dengan pengguna.
Asisten Deputi Industri Penunjang Infrastruktur Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur Kemenko Maritim dan Investasi Firdausi Manti menbatakan, Indonesia bisa menjadi pemain rantai pemasok global baterai untuk kendaraan listrik. Rantai pasokan global dalam industri kendaraan listrik diperlukan.
Seperti diketahui, dari hasil kajian tahun 2020, diperoleh hasil awal bahwa penerapan KBLBB akan menurunkan impor BBM, khususnya gasoline. Namun belum mampu menurunkan emisi Gas Rumah Kaca, akibat sistem pembangkit listrik yang masih didominasi oleh PLTU berbahan bakar batubara. (red)
Comments are closed.