Jakarta, Itech– Pada dekade terakhir ini, terdapat minat yang meningkat pada deposit mineral di laut dalam, yaitu wilayah laut di bawah 200 meter dan mencakup sekitar 65% dari permukaan bumi. Sumber mineral laut dalam sangat penting karena menipisnya deposit mineral terestrial dan meningkatnya permintaan logam untuk aplikasi atau produk berteknologi tinggi.
Kapala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Hammam Riza menjelaskan, seperti deposit mineral terestrial, laut dalam juga memiliki kandungan logam seperti tembaga, nikel, aluminium, mangan, seng, litium, dan kobalt. Saat ini, permintaan terhadap logam ini sangat tinggi karena digunakan untuk berbagai produk berteknologi tinggi seperti smartphone dan teknologi ramah lingkungan, seperti kendaraan elektrik, turbin angin, panel surya, baterai penyimpanan listrik, dan sebagainya.
“Bank Dunia memperkirakan bahwa kita akan membutuhkan lebih dari tiga miliar ton logam penting untuk menerapkan teknologi penyimpanan energi, teknologi surya dan angin dalam upaya untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim,” kata Hammam saat membuka webinar dengan tema ‘Eksplorasi Mineral Laut Dalam di Indonesia: Potensi, Kebijakan, Tantangan dan Teknologi’ pada Kamis (22/7).
Peningkatan jumlah logam akan berdampak besar pada permintaan global. Hammam mencontohkan, produksi kendaraan listrik yang saat ini 5 juta diproyeksikan meningkat menjadi 245 juta pada 2030 atau lebih dari 30 kali lipat. “Kendaraan listrik menggunakan setidaknya empat kali jumlah logam yang ditemukan di mobil bensin/solar. Sebuah kendaraan listrik dengan baterai 75KWh membutuhkan 56 kg nikel, 12 kg mangan, 7 kg kobalt dan 85 kg tembaga untuk kabel listrik,” katanya.
Hammam menerangkan bahwa saat ini ada tiga tipe endapan mineral laut dalam yang diketahui dan menjadi target utama eksplorasi untuk ditingkatkan menuju tahapan eksploitasi. Ketiga tipe endapan mineral itu adalah Sea Floor Massive Sulphide (SMS) dan Hydrothermal Vein yang dapat dijumpai pada pematang tengah samudera (mid oceanic ridge) maupun di busur belakang (back arc), Polymetallic Nodules yang berada pada dataran abysal, dan Cobalt crust yang dapat dijumpai pada gunung laut (seamount).
Sejauh ini, lanjut Hammam, fokusnya masih pada tahap eksplorasi yaitu menilai ukuran dan tingkat deposit mineralnya. Hingga Mei 2018, International Seabed Authority (ISA) – lembaga yang mengatur kegiatan di area di luar yurisdiksi nasional – telah mengeluarkan 29 kontrak untuk eksplorasi deposit mineral laut dalam. Lebih dari 1,5 juta km2 dasar laut internasional – kira-kira seukuran Mongolia – telah diijinkan untuk eksplorasi mineral di Samudra Pasifik dan Samudera Hindia, dan di sepanjang Punggungan Atlantik Tengah.
Menurut Hammam, kegiatan eksplorasi ini mungkin segera ditingkatkan untuk upaya eksploitasi. Penambangan komersial di perairan nasional Papua Nugini telah direncanakan dimulai pada tahun 2020. Sedangkan, penambangan di perairan internasional diperkirakan akan dimulai pada tahun 2025.
“Namun demikian tahapan eksploitasi mineral laut dalam ini selain teknologi, juga tidak terlepas dari berbagai studi yang berkaitan termasuk studi lingkungan terhadap potensi dampak yang dapat ditimbulkan dari kegiatan ekstraksi baik di lokasi dan sekitarnya,” terang Hammam.
Dalam konteks penelitian dan inovasi terkait sumberdaya laut dalam khususnya dengan deposit mineral, banyak aspek yang perlu dipelajari selain eksplorasi dan pada akhirnya eksploitasi/penambangan mineral laut dalam yang masih memerlukan jalan panjang. “Ini tentu menjadi tantangan kita semua untuk dapat melakukan kajian secara komprehensif terhadap potensi sumberdaya laut dalam termasuk mineral deposit dimana di Indonesia masih belum banyak dilakukan,” tutur Hammam.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara, Kementerian ESDM, Ridwan Djamaluddin mengatakan kegiatan di laut untuk mineral di Indonesia sudah ada tapi masih terlalu minimalis. Menurutnya, yang banyak dilakukan lebih kepada eksplorasi dan eksploitasi pasir laut dan pertambangan timah. “Kita perlu memiliki basis data yang komprehensif termasuk peta potensi secara teoritik dan hipotetik, agar kita bisa menyusun program dan prioritasnya sehingga dari waktu ke waktu kita bisa membuat kemajuan. Kita harus punya skenario pengembangan dan pelaksanaan program secara terpadu,” katanya.
Menurut Ridwan, kegiatan di sektor hulu sudah sering dilakukan oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), maupun Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Ia berharap dapat dilakukan kegiatan terpadu secara bersama-sama mulai dari riset, eksplorasi dan eksploitasi.
Webinar digelar oleh kedeputian TPSA – BPPT melalui Balai Teknologi Survei Kelautan tersebut menghadirkan narasumber Hardi Prasetyo (Ahli Geologi Laut Dalam, Mantan SAM KESDM & Ketua FMKI); Hananto Kurnio (Professor Riset Geologi Kelautan, P3GL-ESDM); Rainer Arief Troa (Peneliti Pusar Riset Kelautan – KKP); Sora Lokita (Asisten Deputi I, Kemenko Marvest); dan Yudo Haryadi (Perekayasa Madya Balai Teksurla, BPPT).
Paparan narasumber akan ditanggapi oleh Arifin Rudiyanto (Deputi Kemaritiman dan SDA-BAPPENAS); Haryadi Permana (Peneliti Pusat Penelitian Geoteknologi-LIPI); Rudi Nugroho (Direktur PTPSM-BPPT); Burhannudinnur (Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia); dan Andree Brierly Maramis (Diplomat Ahli Muda, Kemenlu).-Red
Comments are closed.