Jakarta, ITECH– Kepala Pusat Riset Antariksa, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Emanuel Sungging menyampaikan bahwa pada 20 April 2023 nanti akan ada Gerhana Matahari Hibrida. Fenomena yang cukup langka terjadi ini menjadi momen yang baik untuk dilakukan riset antariksa.
Sungging menyebut bahwa riset disiplin ilmu lain dapat memanfaatkan momen yang langka ini untuk penelitian terkait disiplin ilmu masing-masing. Ia mencontohkan, peneliti dari disiplin ilmu hayati dapat ikut meneliti apakah ada pengaruh proses terjadinya gerhana matahari terhadap perilaku makhluk hidup baik itu tumbuhan atau hewan.
Menurutnya, peneliti disiplin ilmu lain dapat melakukan penelitian pengaruh gerhana matahari terhadap perilaku makhluk hidup baik itu hewan atau tumbuhan.
“Selain itu seperti di bidang ilmu sosial, peneliti di bidang tersebut juga dapat melakukan penelitian etnoastronomis, terkait bagaimana budaya yang timbul di masyarakat terkait adanya gerhana matahari hibrida. Adanya momen ini membawa kesempatan untuk melakukan kolaborasi lintas disiplin,” terangnya dalam Gelar Wicara Gerhana Matahari Hibrida 2023 (6/4/2023) di Planetarium Jakarta di Taman Ismail Marzuki.
Sungging dan timnya akan melakukan pengamatan di Biak Numfor yang berada tepat di lintasan gerhana matahari. Ada tiga hal yang ia dan timnya akan lakukan, yaitu riset terkait korona, dampak gerhana pada ionosfer, dan perubahan kecerlangan.
Untuk mengukur korona akan menggunakan indeks flattening Ludendorf agar dapat melihat bentuk dan struktur korona. Nilai indeks yang dihasilkan akan diturunkan untuk mengidentifikasi aktivitas magnetik dan memprediksi siklus matahari.
“Indeks flattening Ludendorf sendiri merupakan parameter kuantitatif untuk menganalisis bentuk dan struktur korona global. Indeks ini juga menjadi salah satu indikator parameter medan magnetic Matahari dalam jangka panjang,” ujar Sungging.
“Dengan menggunakan alat sederhana, kami akan mengukur dinamika ionosfer. Mengapa ionosfer menjadi penting, karena sangat berdampak pada akurasi GPS dan juga terkait komunikasi terutama komunikasi maritim yang menggunakan kanal HF (High Frequency). Kami akan melihat pada saat terjadinya gerhana ini ada gangguan atau tidak,” lanjutnya.
Gerhana Matahari Hibrida terjadi ketika dalam satu waktu fenomena gerhana ada daerah yang mengalami Gerhana Matahari Total dan ada pula yang mengalami Gerhana Matahari Cincin (tergantung dari lokasi pengamat).
Kejadian tersebut disebabkan oleh kelengkungan Bumi. Indonesia sendiri, sudah mengalami gerhana matahari beberapa kali yaitu pada tahun 1983 terjadi Gerhana Matahari Total, Gerhana Matahari Cincin tahun 2019, dan Gerhana Matahari Total tahun 2016.
Gerhana Matahari Hibrida yang akan terjadi pada 20 April 2023 akan berlangsung selama 3 jam 5 menit mulai dari durasi kontak awal hingga akhir jika diamati dari Biak, dengan durasi fase tertutup total 58 detik. Jika diamati dari Jakarta, durasi dari kontak awal hingga akhir adalah 2 jam 37 menit dengan persentase tertutupnya matahari hanya sebesar 39%.
Pada kesempatan yang sama, Premana W. Premadi, pengajar di Astronomi ITB untuk melakukan pengamatan, jangan sekali-kali melihat secara kasat mata ke arah Matahari ataupun fenomena yang menyertainya seperti Gerhana Matahari.
“Apalagi jika menggunakan peranti optis seperti binokuler atau teleskop, harus disertai dengan filter khusus matahari (solar filter). Pengamatan tanpa filter matahari dapat membuat gangguan kesehatan mata secara serius, bahkan pada taraf tertentu dapat menyebabkan kebutaan,” jelas mantan Kepala Observatorium Bosscha ITB.
Terkait dengan kolaborasi riset, terkait fenomena Gerhana Matahari Hibrida ini, Premana menyebutkan pihaknya mendapat kesempatan untuk bekerja sama dengan Pusat Hidro-Oseanografi TNI Angkatan Laut (Pushidrosal) untuk melakukan pengamatan gerhana matahari dari laut. Hal ini diharapkan akan membawa data-data baru mengenai pengamatan Gerhana Matahari dari tengah laut.
Ketua Panitia Ekspedisi Jala Citra 3 Flores 2023, Kolonel Laut Priyo Dwi Saputro selaku perwakilan dari Pushidrosal menyebut pihaknya sedang mengkonsepkan lebih lanjut terkait kolaborasi riset yang akan dilaksanakan menyongsong Gerhana Matahari Hibrida tersebut.
“Kami tertarik untuk melihat apakah ada perubahan suara-suara yang dihasilkan biota dan mamalia laut selama terjadinya Gerhana Matahari Hibrida ini. Kami juga tertarik untuk melihat bagaimana dampak terpengaruhinya ionosfer bagi komunikasi HF, apalagi kami di laut cukup bergantung pada frekuensi ini,” pungkas Priyo. (Sumber brin.go.id)
Comments are closed.