Dampak Penyesuaian Harga BBM Terhadap Ekonomi Nasional
Itechmagz – Kali ini bukan April Mop! PT Pertamina (Persero) resmi menaikkan harga bahan bahar minyak (BBM) jenis Pertamax dari Rp 9.000 per liter menjadi Rp 12.500 per liter. Dasarnya adalah Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM No. 62 K/12/MEM/2020 tentang Formula Harga Dasar Dalam Perhitungan Harga Jual Eceran Jenis Bahan Bakar Minyak Umum Jenis Bensin dan Minyak Solar yang Disalurkan Melalui Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum. Kebijakan lainnya adalah menetapkan BBM RON 90 alias Pertalite sebagai Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP). Artinya Pertalite dipastikan menjadi jenis BBM yang mendapatkan subsidi dari pemerintah.
Keputusan ini tentu sudah melalui berbagai pertimbangan oleh semua pihak terkait. Apalagi komponen terbesar dari struktur biaya BBM adalah biaya perolehan produk. Padahal harga minyak acuan yang digunakan pemerintah untuk menentukan harga BBM domestic, yaitu MOPS (Mean of Plats Singapore) terus melonjak akibat konflik geopolitik antara Rusia dan Ukraina. Seiring harga ICP Maret 2022 yang melampaui US$ 114 per barel atau naik 35% dari ICP Desember 2021 sebesar US$ 73 per barel. Tentu ini membebani keuangan Pertamina. Tak kurang, Komisi VI DPR RI, yang salah satu tugasnya mengawasi sektor Badan Usaha Milik Negara (BUMN), mendorong PT Pertamina (Persero) untuk segera melakukan penyesuaian harga Bahan Bakar Minyak (BBM) non subsidi jenis bensin RON 92 atau Pertamax. Pasalnya, harga jual Pertamax ini sudah jauh dari nilai keekonomian. Berdasarkan data ESDM, harga keekonomian pada Maret 2022 sebesar Rp 14.526 per liter.
Dampak Penyesuaian Harga BBM terhadap Ekonomi Nasional
Meskipun polemik yang menyertai kenaikan harga Pertamax belum reda, wacana public menjadi hangat setelah beberapa hari lalu, Menteri Koordinator (Menko) Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menyampaikan sinyal adanya potensi kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Pertalite hingga gas LPG 3 kilogram.
Pada setiap momentum kenaikan harga BBM, pasti terjadi pro kontra dan kekhawatiran akan memicu kenaikan inflasi. Namun melihat porsi penggunaan Pertamax saat ini hanya 12% dari total konsumsi BBM nasional, agaknya tidak memberikan dampak inflasi yang significant. Terlebih pertamax ini banyak digunakan oleh konsumen kelas menengah atas dengan daya beli yang kuat.
Yang jadi persoalan sekarang adalah apabila sebagian kelas menengah yang selama ini menggunakan Pertamax kemudian beralih ke Pertalite. Hal ini tentu akan menyebabkan naiknya permintaan Pertalite, yang berpengaruh dengan kemampuan pasokan dan ketersediaan Pertalite. Dampak lainnya tentu membengkaknya subsidi yang harus ditanggung pemerintah mengingat Pertalite sudah ditetapkan sebagai Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP).
Untuk itu, pemerintah perlu menyiapkan mekanisme yang efektif untuk mempertahankan pengguna Pertamax tidak beralih menggunakan Pertalite. Ini mudah diucapkan namun tidak mudah untuk dilakukan. Apalagi selama ini baru sebatas himbauan dan sosialisasi yang sifatnya persuasive.
Di sisi lain, potensi melonjaknya besaran subsidi BBM juga patut diantisipasi. Mekanisme subsidi yang dijalankan saat ini adalah subsidi terhadap barang (produk), bukan pada orang. Subsidi ini sifatnya terbuka, sehingga tidak ada larangan konsumen kelas menengah atas atau kendaraan jenis apapun untuk membeli BBM subsidi.
Dalam APBN 2022 pemerintah mengalokasikan total anggaran subsidi sebesar Rp206,96 triliun. Anggaran tersebut dibagi untuk subsidi energi sebesar Rp134,03 triliun dan untuk subsidi non energi Rp72,93 triliun. Jika dirinci lagi, anggaran subsidi energi dalam APBN 2022 dialokasikan untuk subsidi jenis bahan bakar minyak (BBM) tertentu sebesar Rp11,3 triliun, subsidi LPG tabung 3 kg senilai Rp66,3 triliun, dan subsidi listrik Rp56,5 triliun.
Untuk itu, perlu segera diselesaikan persoalan teknis perubahan sasaran subsidi dari sebelumnya berbasis komoditas menjadi berbasis orang. Disertai perbaikan mekanisme teknis semisal kerja sama dengan organisasi angkutan darat (organda), optimalisasi penggunaan aplikasi seperti MyPertamina yang berbasis Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), atau penggunaan Kartu Keluarga Sejahtera. Upaya penyempurnaan mekanisme teknis secara operasional ini diharapkan agar subsidi BBM lebih tepat sasaran.
Langkah pemerintah untuk mempertahankan harga Pertalite dan Pertamax di bawah harga keekonomian menjadi strategi yang efektif dalam jangka pendek untuk menjaga inflasi dan mempertahankan daya beli masyarakat . Namun apabila kebijakan ini bersifat jangka panjang akan menyebabkan alokasi subsidi BBM semakin naik setiap tahun dan akan membebani APBN. Padahal alokasi subsidi dapat dialihkan untuk sector lain yang produktif, atau untuk mendorong akselerasi pengembangan sector energi baru dan terbarukan (EBT).
Strategic Advisor Centre for Energy and Innovations Technology Studies (CENITS), Irnanda Laksanawan, mengusulkan untuk membuka diskusi publik terhadap kebijakan fomula Automatic Pricing Mechanism (APM) dalam penetapan harga BBM. Malaysia dan beberapa Negara lain sudah lama menjalankan mekanisme ini. Kebijakan formula APM ini dirancang sebagai fungsi untuk menstabilkan harga bensin (Bensin RON 95, Benisn RON 97) dan solar sampai batas tertentu, melalui pemberlakuan pajak penjualan dan subsidi dalam jumlah yang bervariasi, sehingga perubahan harga eceran dipengaruhi oleh besaran pajak dan subsidi dalam batas tertentu sesuai kebijakan yang ditetapkan Pemerintah. Dengan kebijakan APM tersebut, Pemerintah Malaysia menjaga harga BBM pada level tertentu melalui pemberian insentif.
Selain komponen harga, keamanan pasokan BBM merupakan faktor yang menjadi prioritas perhatian bersama. Upaya membangun infrastruktur cadangan strategis minyak/ Strategic Petroleum Reserves (SPR) dalam konteks ketahanan energi nasional harus dilanjutkan. Ketersediaan SPR untuk antisipasi serapan impor dan keadaan darurat. Beberapa Negara yang sudah memilikinya antara lain Amerika Serikat, Jepang dan India. Dalam 6 bulan terakhir, Amerika Serikat sudah melepas 180 juta barel SPR yang berhasil menurunkan harga minyak mentah. (AFZ)
Comments are closed.