CTED Gelar Pertemuan Regional kawasan ASEAN

63

Get real time updates directly on you device, subscribe now.

Jakarta, Itech –  Indonesia dipilih dalam penyelenggaraan pertemuan CTED (Counter-Terrorism Committee Exceutive Directorate) untuk wilayah ASEAN awal tahun ini.

Pertemuan regional yang diselenggarakan pada 30-31 Januari di Jakarta memperoleh dukungan pendanaan Pemerintah Jepang. Dihadiri para pakar dari Belanda, Australia, Amerika Serikat, dan Jepang serta wakil negara-negara Asia Tenggara seperti Singapura, Thailand, Malaysia, Philipina termasuk Indonesia.

“Fokus pertemuan kali ini mengenai pengumpulan, penanganan, perlindungan, dan berbagi informasi dan bukti yang diperoleh di zona konflik, untuk memastikan bahwa teroris yang telah melakukan kejahatan, termasuk mereka yang kembali ke negara asal dari zona konflik, agar dapat dituntut di negaranya. Dalam hal ini, CTED akan menghimpun informasi dari beberapa negara mengenai praktek di lapangan dan keahlian teknis yang dimiliki masing-masing negara sekaligus berdiskusi dengan para pakar dari berbagai negara,” ujar Marc Porret, Koordinator Bidang Hukum dan Pengadilan Kriminal CTED di Jakarta, Kamis (31/1/ 2020).

CTED membantu CTC (Counter- Terrorism Committee) yang bernaung dibawah Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa. CTED melaksanakan keputusan kebijakan CTC dan melakukan penilaian ahli dari negara-negara anggota PBB

Menurut Marc Porret, selama ini negara-negara anggota PBB menghadapi kendala memperoleh bukti kuat untuk dapat menuntut dan memberi hukuman berat pada para tersangka teroris dalam proses peradilan. “Padahal, ada banyak data digital yang berkaitan dengan kegiatan teroris dan kelompok-kelompok ekstremis brutal di zona-zona konflik. Sehingga perlu menerapkan prosedur dan mekanisme untuk menyediakan akses hukum ke data lintas batas antar negara,” ujarnya.

Adsense

Termasuk dalam hal ini, mendeteksi tenaga kerja yang bekerja diluar negeri yang melakukan perjalanan ke zona konflik. “Alat bukti yang berkaitan dengan kegiatan teroris di luar negeri selama ini belum dapat diakses oleh jaksa penuntut sipil dan penyelidik,” ujar Marc Porret.

Tanya Mehra, Konsultan Proyek CTED memaparkan bahwa alat bukti yang terbaik yang didapat dari zona konlik di darat atau di laut diantaranya dokumen dan catatan keanggotaan organisasi teroris, komputer, ponsel dengan catatan media sosial, film, foto, detail kontak jaringan. Selain itu, juga senjata dengan sidik jari, bahan peledak dengan informasi forensic serta pernyataan saksi dan korban.

Dalam pertemuan juga terungkap beberapa negara telah mengembangkan teknologi biometric untuk identifikasi tersangka teroris. Pemindai biometrik adalah alat yang menggunakan data biometrik untuk mengidentifikasi individu berdasarkan pengukuran karakteristik fisiologisnya. Sedangkan biometrik merupakan suatu metode komputerisasi yang menggunakan aspek-aspek biologi terutama karakteristik unik yang dimiliki oleh manusia seperti sidik jari dan retina mata.

“Negara-negara Eropa khususnya, sistem biometric yang dikembangkan sudah sangat maju. Bergantung masing-masing negara menerapkan kemampuan teknologi biometric, seperti sidik jari bahkan hingga pemindai retina mata. Hal ini terdapat pada tubuh manusia namun selalu berbeda setiap orangnya, sehingga dapat dijadikan sandi untuk pengindentifikasian,” ujar Kanako Emoto, Associate Legal Officer CTED.

Seperti diketahui CTED telah melakukan penilaian ahli dari 193 negara anggota PBB. Pada Desember 2018, lebih dari 150 kunjungan ke sekitar 100 negara anggota PBB telah dilakukan sejak CTED dinyatakan beroperasi 13 tahun sebelumnya. Lebih dari 20 resolusi Dewan Keamanan ada yang berkaitan dengan CTC dan CTED, yang sebagian besar diadopsi selama empat tahun terakhir. Mandat CTED baru-baru ini diperbarui oleh resolusi Dewan Keamanan 2395 (2017), yang memperpanjang Misi Politik Khusus hingga 31 Desember 2021. (Red)

Advertisements

Comments are closed.

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More