Jakarta, Itech- Deputi Penguatan Inovasi Kemenristek/Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN), Jumain Appe mengatakan Indonesia harus segera menginisiasi program transformasi pertahanan, agar dapat menjadi bagian dari revolusi teknologi militer. Pasalnya, transformasi pertahanan hanya dapat dilakukan jika Indonesia memiliki kapasitas adopsi teknologi militer yang memadai.
“Karena itu, perlu segera diwujudkan pembanguan Industri Radar Nasional dalam meningkatkan deterrent power serta kesiapan dan kemampuan operasi dalam rangka pertahanan negara, termasuk meningkatkan kemandirian pengadaan dan pemeliharaan peralatan Radar,” kata Jumain di Hotel Sultan, Jakarta, (26/11).
Jumain memimpin Rapat Koordinasi dengan stakeholders mengenai Hasil Audit Teknologi Industi Radar, yang bertujuan untuk mengkoordinasikan audit teknologi radar, yang merupakan elemen penting dalam pengembangan industri pertahanan Indonesia ke depan.
Acara tersebut juga dihadiri wakil dari Kemenko Polhukam, Kemenhan, Kementerian BUMN, Kemen PPN/Bappenas, Kemenristek/BRIN, Kemenperin, KOHANUD, BPPT, LIPI, PT. Inti, PT. Solusi 247, PT. CMI, Infoglobal, dan PT. Bimasena.
Dikatakan Jumain, berdasarkan pada tren perkembangan teknologi pertahanan, maka ditetapkan tujuh prioritas Iptek bidang pertahanan yang harus dikembangkan, yaitu pesawat tempur, kapal selam, kapal perang, radar, roket atau rudal, kendaraan tempur dan propelan.
Dari semuanya itu, Jumain menilai pentingnya pengembangan industri radar pertahanan oleh industri dalam negeri yang berkualitas agar dapat memberikan dampak terhadap perekonomian nasional, baik dampak terhadap penciptaan output produksi, nilai tambah maupun penciptaan pendapatan masyarakat.
Saat ini, ruang udara di sejumlah wilayah di Indonesia yaitu Batam, Tanjung Pinang, Karimun, dan Natuna, selama ini dikelola oleh Singapura dan Malaysia berdasarkan keputusan yang dibuat dalam konvensi Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) pada tahun 1946 dan 1973.
“Dan, Indonesia masih terus bernegosiasi dengan Singapura dalam upaya mengambil alih ruang kendali udara penerbangan (flight information region/ FIR) di wilayah Kepulauan Riau dan perairan Natuna. Selain dengan Singapura, Indonesia juga telah berdiskusi dengan Malaysia terkait pengambilalihan sejumlah blok FIR di Kepulauan Riau dan Natuna,” paparnya.
Namun sayangnya, kondisi Radar Pertahanan Udara (Hanud) yang beroperasi di wilayah Indonesia saat ini begitu memprihatinkan. Dari jumlah 20 unit radar yang dioperasikan tersebut, ada sebagian radaryang tidak beroperasi secara maksimal dan berpotensi sangat sulit untuk dioptimalkan kembali.
Data menyebutkan, sebanyak Tiga unit radar Plessey AWS II merupakan radar 2 dimensi yang akan diganti sesuai dengan MEF, sedangkan tiga unit radar Plessey AR-325C saat ini pabrik pembuatnya sudah tutup sehingga kesulitan dukungan suku cadangnya dan kemampuan testbench untuk perbaikan yang hanya mampu memperbaiki sebagian suku cadang, dan sisanya sebanyak 8 unit radar TRS 2215 yang kemampuan deteksinya sebagian besar hanya 100 NM, jauh dari kemampuan awal.
Terkait teknologi radar yang dipilih untuk peremajaan Satuan Radar Pertahanan Nasional adalah Ground Control Intercept (Long Range Air Surveillance Radar). Pengadaan radar pertahanan nasional dapat dilakukan dengan pengembangan sendiri dan akuisisi teknologi dari negara lain. Untuk pengembangan secara mandiri Long Range Air Surveillance Radar ini dimulai dengan pengembangan Medium Range 3D Phased Array Radar sebagai target antaranya.
Dikatakan, potensi kemampuan untuk pengembangan radar pertahanan ini perlu didorong oleh pemerintah melalui program pengembangan yang intensif dan dengan target yang terukur. Sebagaimana yang diatur dalam Permenhan Nomor 44 Tahun 2016 bahwa untuk mendapatkan first article radar pertahanan ini harus melalui tahapan: 1). Desain awal; 2). Desain Rinci; 3). Pengembangan demonstrator teknologi; 4). Pabrikasi; 5). Pengintegrasian, pengujian, dan sertifikasi prototipe; serta 6). Pembangunan First Article.
Comments are closed.