Jakarta, Itech- PT Amartha Mikro Fintech, perusahaan financial technology (fintech) peer to peer lending imengaku akan mendapat pendanaan seri B dari investor lokal maupun asing, diantaranya dari Line Ventures. Rencananya suntikan dana segar tersebut akan digunakan Amartha untuk memperluas pasar ke Pulau Jawa, Bali, dan Sulawesi.
Akhir tahun ini, perusahaan berencana pula meluncurkan fitur reksa dana serta auto invest bagi lender Amartha. Keduanya bertujuan mengoptimalkan uang dari para pendana atau lender. “OJK (Otoritas Jasa Keuangan) minta perusahaan fintech agar uang tidak mengendap di escrow account. Salah satu caranya, dana bisa ditaruh di rekening lender, namun tidak berbunga atau return,” ujar Chief Risk and Sustainability Officer Amartha, Aria Widyanto di Jakarta, Rabu, (6/11).
Karena itu, Amartha berinisiatif menyediakan produk reksa dana. Dengan begitu, dana mengendap bisa menghasilkan return walau tidak banyak. “Ini mitigasi risiko atau strategi kita supaya uang tidak mengendap di escrow,” jelasnya seraya menambahkan Amartha pun telah menggandeng dua perusahaan manajemen aset yakni PT Principal Asset Management dan PT Star Mercato Capitale atau Tanamduit.
Sementara layanan auto invest merupakan pilihan bagi lender untuk memilih pengusaha mikro mana yang ingin diberikan pembiayaan. Tidak membuat aplikasi baru, nantinya fitur reksa dana dan auto invest akan ditambahkan ke aplikasi lender yang sudah ada sekarang. sehingga lebih mudah dan efisien karena semua bisa lewat satu aplikasi.
Diketahui, PT Amartha Mikro Fintek telah menyalurkan pembiayaan sebanyak Rp 1,5 triliun lebih per Oktober 2019. Dana tersebut disalurkan ke 321 ribu mitra usaha perempuan di berbagai desa di Tanah Air. Kinerja keuangan tersebut sudah sesuai rencana perusahaan tahun lalu. Baik dari sisi jumlah nasabah, maupun total modal kerja yang disalurkan. “Dengan tren begini, mungkin sampai akhir tahun bisa mencapai Rp 1,7 triliun,” ujar Aria.
Dirinya menuturkan, setiap bulan perusahaan financial technology (fintech) peer to peer lending tersebut menyalurkan dana ke mitra usaha perempuan sekitar Rp 150 miliar, dalam bentuk pinjaman berjangka waktu satu tahun. Setelah melunasi pinjamannya, nasabah bisa kembali mengajukan pembiayaan. Jumlah pinjaman yang diberikan tergantung hasil skoring. Ini merupakan salah satu cara perusahaan memitigasi risiko.
Perlu diketahui, Amartha baru saja meluncurkan hasil riset bersama Center for Digital Society Universitas Gajah Mada (CfDS UGM) bertajuk ‘Peran Amartha dalam Meneningkatkan Kesejahteraan Perempuan di Pedesaan’. Hasilnya menunjukkan, Amartha berhasil meningkatkan kesejahteraan hidup para mitranya. Pasalnya pendanaan dan pendampingan yang Amartha lakukan membuat pendapatan mereka naik hingga tujuh kali lipat, melebihi Upah Minimum Regional (UMR) setempat.
Salah satu temuan riset tersebut mengungkap, sebanyak 76% mitra usaha Amartha mengaku bisa membayar uang sekolah anak dari pendapatan usaha. Selain itu, meningkatnya penjualan mereka turut membuka lapangan pekerjaan untuk masyarakat sekitar. Demikian diktakan Sekretaris Eksekutif CfDS UGM Dewa Ayu Diah Angendari.
Diah menyebutkan bahwa dari hasil survei, ketidakpemilikan gawai cenderung akan semakin besar di usia lanjut atau 49 tahun ke atas. Sementara sisanya atau sebanyak 37,5% responden, menggunakan perangkat mereka untuk mengakses hiburan dan berkomunikasi melalui platform media sosial seperti Facebook dan Youtube. Sayangnya, mitra Amartha ini belum memanfaatkan internet lebih jauh lagi untuk keperluan pekerjaan atau bisnis mereka. Padahal, penggunaan perangkat TIK itu sebenarnya dapat mendukung pekerjaan, ruang ekspresi, dan menyediakan akses informasi bagi mitra Amartha.
Lebih lanjut Diah mengungkapkan ada dua faktor yang memengaruhi seseorang mengadopsi TIK. Faktor pertama ialah persepsi atas manfaat yang diberikan oleh TIK. “Kalau dilihat dari responden yang kami temui, tingkat adopsi TIK itu masih rendah karena mereka tidak melihat adanya manfaat dari penggunaan handphone dan internet bagi pekerjaan mereka. Soalnya, mereka sehari-harinya hanya pergi ke sawah, membuat kue, atau menjahit baju,” papar Diah.
Faktor lainnya ialah persepsi atas kemudahan dalam TIK. Dengan melihat fenomena kesenjangan digital dan minimnya adopsi TIK pada studi kasus mitra Amrtha ini, Diah berharap pemerintah, perusahaan fintech seperti Amartha, dan pihak lainnya mau ikut andil untuk mengatasi fenomena ini. (red/ju)
Comments are closed.