Jakarta, Itech- Indonesia dikenal sebagai pusat keanekaragaman hayati dunia (megabiodiversity) dan tergolong negara yang memiliki tingkat endemisme tertinggi di dunia. Indonesia memiliki 47 ekosistem alami berbeda yang merupakan potensi dan aset nasional dan basis peningkatan kesejahteraan masyarakat atau dikenal sebagai emas hijau. Keanekaragaman hayati berpotensi untuk sebagai bahan pangan, papan, obat obatan dan kosmetika.
“Saat ini, pemanfaatan sumberdaya hayati untuk industri di Indonesia masih relatif kecil dibandingkan dengan potensi yang ada. Bahkan hanya sekitar 5% saja potensi sumberdaya hayati yang sudah dimanfaatakan industri,” ungkap Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Alam dan Jasa – Agung Kuswandono dalam Seminar Pencegahan Pencurian Sumber Daya Hayati (Biopiracy) Indonesia di Tangerang, (28/10).
Menurut Agung, dari hasil suatu penelitian disebutkan bahwa dari 150 obat-obatan yang diresepkan dokter di AS, 118 jenis berbasis sumber alam, yaitu 74% dari tumbuhan, 18% jamur, 5% bakteri, dan 3% vertebrata seperti ular. Nilai obat-obatan dari bahan alam mencapai USD 40 miliar/tahun. Industri farmasi termasuk obat-obatanmerupakan industri yang sangat besar, dengan perkiraan persentase dari nilai tumbuhan alami dalam industri farmasi sebesar USD 400-900 miliar/tahun.
“Riset, pengembangan teknologi dan peningkatan kualitas SDM dibidang sumber daya hayati harus ditingkatkan. Hal ini sejalan dengan program prioritas Kabinet Indonesia Maju yaitu peningkatan kualitas SDM. Karena jika tidak dimanfaatkan, maka akan dimanfaatkan oleh negara maju dan perusahaan multinasional.” tegas Agung
“Pencurian terhadap sumberdaya hayati, terutama biopiracy menjadi masalah yang merugikan ekonomi Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya sumber daya genetika seperti obat, bahan industri dan pangan dipatenkan tanpa izin oleh perusahaan dan pakar luar negeri. Lalu bagaimana jika misalnya obat-obatan yang diproduksi oleh perusahaan obat besar yang bahan dasarnya diperoleh dari tanaman yang berasal dari tanaman yang hanya dapat tumbuh di Indonesia.” lanjutnya.
Sementara itu, Direktur Riset dan Pengabdian Masyarakat, Dirjen Penguatan Riset dan Pengembangan, Kemenristek, Ocky Karna Radjasa saat menjadi pembicara kunci pada acara Seminar Nasional tersebut, UU Sisnas Iptek memberikan perlindungan bagi Sumber Daya Hayati Indonesia sekaligus memberikan sanksi bagi semua pihak yang melanggar ketentuan terkait dengan penelitian asing. Sanksi yang terdapat dalam UU tersebut mulai dari sanksi administratif sampai dengan sanksi pidana.
“Kelembagaan Iptek asing dan/atau orang asing dan orang Indonesia yang melakukan penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan (Litbangjirap) di Indonesia dengan dana yang bersumber dari pembiayaan asing, diantaranya wajib menyerahkan data primer kegiatan Litbangjirap, serta memberikan pembagian keuntungan secara proporsional sesuai dengan kesepakatan para pihak.” ujar Ocky.
“Setiap orang asing yang melakukan pelanggaran terhadap kewajiban sebagaimana disebut pada Pasal 76 diberikan sanksi berupa: peringatan tertulis; penghentian pembinaan; denda administratif; pencantuman para pelanggar dalam daftar hitam pelanggaran Penelitian, Pengembangan, Pengkajian, dan Penerapan; dan/atau pencabutan izin.” tutur Ocky.
Ocky menjelaskan bahwa bagi setiap orang asing yang melakukan Litbangjirap tanpa izin, dikenai sanksi secara bertahap, mulai dari sanksi administratif berupa pencantuman dalam daftar hitam orang asing yang melakukan Litbangjirap di Indonesia, sampai dengan sanksi pidana berupa pidana denda Rp 4 Miliar.
“Saya ingin menekankan bahwa sanksi yang diberikan kepada peneliti asing yang tidak berizin tidak langsung sanksi pidana, tetapi sanksinya diberikan secara bertahap. Jika dilakukan berulang kali, baru dikenakan sanksi pidana. Untuk pelanggaran pertama, dikenakan sanksi administratif.” Tegas Ocky. (red/ju)
Comments are closed.