Jakarta, Itech- Draf Revisi PP No.82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Teransaksi Elektronik (PP PTSE) telah ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo. Hal tersebut disampaikan oleh Dirjen Aplikasi Informatika Kementerian Kominfo Semuel Abrijani Pengerapan seperti dilansir dari laman resmi Dirjen Aptika Kementerian Kominfo, (17/10).
“Kemenkominfo sedang menyiapkan PP No. 71/2019 mengenai PSTE. PP tersebut merupakan perubahan dari PP No. 82/2012. Di PP PSTE yang baru, salah satunya dibahas mengenai keamanan siber. Saat ini PP tersebut sudah ditandatangani oleh Presiden,” ujar Semuel.
Pada perkembangan lain, isi draf revisi PP Nomor 82 Tahun 2012 dinilai kontradiktif dengan perintah Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menyatakan bahwa kedaulatan data harus dilindungi pada saat menyampaikan pidato 16 Agustus 2019.
Diketahui, dalam pidato kenegaraannya, Presiden Jokowi menekankan pentingnya perlindungan data pribadi. Tata aturan untuk melindungi kedaulatan data harus segera dibikin. “Karena itu, kedaulatan data harus diwujudkan hak warga negara atas data pribadi harus dilindungi. Regulasinya harus segera disiapkan tidak boleh ada kompromi!” kata Jokowi pada pidato kenegaraan dalam rangka HUT ke-74 RI.
Melindungi data pribadi berarti melindungi kepentingan rakyat. Jokowi menyatakan Indonesia perlu siaga menghadapi ancaman kejahatan siber, termasuk penyalahgunaan data. Data merupakan hal penting di era kini. “Kita harus siaga menghadapi ancaman kejahatan siber, termasuk kejahatan penyalahgunaan data. Data adalah jenis kekayaan baru bangsa kita, kini data lebih berharga dari minyak,” kata Jokowi.
Sementara itu, gabungan asosiasi penyelenggara jasa internet yang terdiri atas ACCI, APJII, FTII, Aspiluki, Indonesia ICT Institute, dan Mastel sebagai induk asosiasi sektor ICT Indonesia menilai kontradiksi terletak di Pasal 21 ayat 1 draf revisi PP PSTE. Pasal tersebut berbunyi Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat dapat mengelola, memproses dan/atau menyimpan Sistem Elektronik dan Data Elektronik di wilayah Indonesia dan/atau di luar wilayah Indonesia.
“Dengan bunyi ayat di atas, maka yang akan terjadi adalah negara tidak akan dapat melindungi ‘data kita’ [data masyarakat Indonesia] karena Pemerintah memberikan lampu hijau kepada Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat dan aplikasi-aplikasi yang berasal dari negara lain untuk bisa menyimpan data di luar wilayah Indonesia, dan itu berarti isi Revisi PP 82/2012 sangat bertentangan dengan arahan Presiden,” ujar pihak asosiasi dalam keterangan resmi yang diterima Bisnis.com, Kamis (17/10).
Adapun, pihak asosiasi mengatakan implikasi lain dengan memperbolehkan Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat untuk memproses dan menyimpan data di luar wilayah Indonesia, antara lain; pertama, ada potensi 90% data di Indonesia akan lari ke luar wilayah Indonesia. Hal tersebut dinilai ini akan berimplikasi besar dari aspek ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan kemanan Indonesia di era ekonomi data, mengingat sampai saat ini Indonesia belum mempunyai aturan perlindungan data yang memadai.
Kedua, dengan memperbolehkan data Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat memproses dan menyimpan data diluar wilayah Indonesia, maka penyedia layanan pusat data (data center), komputasi awan, over the top (OTT) asing tidak lagi berkewajiban melakukan investasi di Indonesia karena bisa melayani masyarakat Indonesia diluar wilayah Indonesia. Pihak asosiasi menilai hal tersebut sangat merugikan secara ekonomi.
Ketiga, penegakan hukum dianggap akan mengalami kesulitan manakala proses penegakan hukum tersebut membutuhkan data yang tersimpan di luar wilayah Indonesia, karena masing-masing negara mempunyai aturan dan yuridiksinya masing-masing.
“Setelah kami mempelajari draft tersebut, kami berkesimpulan bahwa isi draft revisi PP 82/2012 sangat kontradiktif dengan pesan-pesan yang disampaikan Presiden Ir. H. Joko Widodo dalam berbagai pidato kenegaraan/kepresidenan,” ujar Kristiono, Ketua Umum MASTEL, Senin (21/10).
“Revisi PP 82/2012 seharusnya bukan melemahkan posisi Indonesia namun harus mampu menguatkan dan meneguhkan kedaulatan negara dalam melindungi semua jenis data yang dimiliki bangsa dan rakyat Indonesia karena data adalah the new oil,” tegas Kristiono seraya menilai, ketiadaan regulasi dan kebijakan yang dapat melindungi kekayaan nasional dimaksud bisa berakibat terlepasnya kesempatan kita membangun kekuatan dan kedaulatan digital ekonomi Indonesia. (red)
Comments are closed.