Jakarta, Itech- saat ini, ekspor minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) Indonesia ke Uni Eropa tengah terkendala. Badan Standardisasi Nasional (BSN) yang telah diamanati untuk mewakili Indonesia dalam perjanjian Hambatan Teknis Perdagangan (Technical Barriers to Trade/TBT) di Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) terus berjuang keras agar produk CPO dapat diterima internasional.
Kepala BSN, Bambang Prasetya, mengatakan, sejak tahun 2018, Indonesia, melalui BSN yang bekerjasama dengan K/L terkait, telah memperjuangkan produk CPO terhadap kebijakan Uni Eropa di forum TBT WTO. Indonesia menilai Uni Eropa telah mendiskriminasi produk CPO dari luar Uni Eropa dengan produk vegetable oil lainnya yang berasal dari Uni Eropa sebagai bahan baku biofuel.
“Kami akan terus menyampaikan concern dan keberatan atas kebijakan tersebut dan menekan Uni Eropa untuk memenuhi ketentuan dalam TBT WTO, agar produk CPO dari Indonesia dapat menembus pasar Uni Eropa,” ungkap Bambang disela Workshop Pemanfaatan TBT WTO Agreement dalam Menembus Pasar Perdagangan Global bagi Industri, di Jakarta, (8/8).
Perjanjian TBT mengatur setiap anggota WTO untuk memenuhi prinsip-prinsip non-disksriminasi, ekuivalensi, harmonisasi dengan standar internasional, transparansi, dan saling pengakuan antara lain melalui penggunaan Mutual Recognition Arrangement (MRA) atau Multilateral Arrangement (MLA).
Sebagai pemenuhan prinsip transparansi, setiap negara anggota WTO berkewajiban untuk membentuk suatu Notification Body (NB) dan Enquiry Point (EP), yaitu suatu institusi yang berperan untuk menangani penyampaian rancangan peraturan teknis ke sekretariat TBT WTO dan menjawab semua pertanyaan baik dari anggota WTO maupun masyarakat luas mengenai standar, regulasi teknis, dan prosedur penilaian kesesuaian.
Pemenuhan terhadap regulasi negara tujuan menjadi sangat penting dalam meningkatkan dayasaing dan memperluas akses pasar global. Perjanjian TBT WTO memberikan kesempatan bagi anggota WTO untuk melakukan perdagangan secara adil dan transparan.
Untuk mencapai hal tersebut, setiap negara diharuskan untuk melaksanakan pemenuhan kewajiban terhadap perjanjian khususnya terkait prinsip non diskriminasi dan transparansi terhadap pemberlakuan standar dan penilaian kesesuaian.
Dalam rangka peningkatan daya saing produk Indonesia yang dilakukan melalui perjanjian baik bilateral maupun regional dan multilateral, diperlukan partisipasi aktif dalam pemenuhan kewajiban terhadap perjanjian tersebut khususnya terkait standar dan penilaian kesesuaian.
Hal itu dilakukan untuk memfasilitasi para stakeholder dalam mencapai tujuan kepentingan nasional. Partisipasi aktif dalam pembahasan perjanjian kesepakatan baik bilateral maupun regional serta multilateral diperlukan untuk memastikan kepentingan nasional terakomodasi.
Sebagai contoh, Indonesia melalui BSN/KAN telah melakukan kerjasama dengan Uni Emirat Arab/UAE dalam memfasilitasi eksportir untuk keberterimaan sertifikat halal. “Sekarang ekspor produk halal kita ke Uni Emirat Arab sudah lancar, karena kini mereka menerima sertifikat halal dari lembaga sertifikasi yang telah terakreditasi KAN,” jelas Bambang.
Bambang pun berharap para pelaku usaha dapat pro aktif dalam memberikan informasi terkait permasalahan yang dihadapi dalam melakukan perdagangan internasional, sehingga dapat diperjuangkan oleh BSN melalui ke sekretariat TBT WTO.
“Setiap anggota WTO berhak memberikan tanggapan, klarifikasi serta keberatan terhadap regulasi yang diberlakukan oleh anggota WTO lain. Kepatuhan terhadap perjanjian internasional akan mengurangi concern dan menghindari dispute dalam perdagangan internasional yang akan merugikan negara,” tegas Bambang.
Bambang menilai, partisipasi aktif Indonesia baik dalam meregulasi dan menanggapi rancangan regulasi anggota WTO lainnya masih perlu ditingkatkan. Melalui forum ini, diharapkan terjadi penguatan sinergi antara BSN sebagai NB dan EP TBT-WTO dengan para pelaku usaha dalam pemanfaatan akses notifikasi regulasi teknis. (red)
Comments are closed.