Jakarta, Biskom- Tumbuh suburnya industri transportasi online (ride-hailing) di Indonesia menyebabkan banyak pemain bermunculan, meskipun saat inihanya dua yang bertahan, yakni Go-Jek,start-up unicornasal Indonesia dan Grab, perusahaan penyedia layanan ride-hailing terbesar di Asia Tenggara.
Seiring berjalannya waktu, persaingan antara Go-Jek dan Grab semakin sengit. Keduanya saling salip dalam mengembangkan layanan dan meningkatkan kualitasnya. Harapannya, tentu saja ingin memperoleh jumlah pengguna yang lebih banyak daripada pesaing. Namun, pada akhirnya konsumen yang menjadi penentu.
Spire Research and Consulting, salah satu perusahaan riset terkemuka global yang berpusat di Tokyo, Jepang,belum lama ini melakukan studi terhadap pengemudi dan konsumen untukmencari tahu preferensi terhadap penyedia layanan transportasi onlinedari berbagai aspek, seperti consumer awareness, frekuensi penggunaan, dan preferensi dalam menggunakan layanan e-money1.
“Temuan paling menarik dari studi kami adalah adanya kecurangan (fraud)yang cukup besar dan bagaimanapandangan para pengemudi (driver)terhadap hal tersebut,” ungkap Jeffrey Bahar, Group Deputy CEO Spire Research and Consulting, di Jakarta, Rabu (30/1).
Berdasarkan hasil survei “Consumers’Awareness” yang dilakukan Spire Research and Consulting, 75% dan 61% responden menyebutkan bahwa Grab merupakan merek (brand) yang mereka gunakan dalam 6 dan 3 bulan terakhir. Sementara itu, 62% dan 58% responden memilih menggunakan Go-Jek untuk kategori yang sama dalam 6 dan 3 bulan terakhir.
Melihat data tersebut, konsumen lebih banyak menggunakan Grab, setidaknya hingga kuartal 4/2018. Sebanyak 34% pengguna GrabCar, salah satu layanan dari Grab, menyebutkan bahwa mereka menggunakan layanan itu sebanyak 3-4 kali per minggu. Sementara itu, 25% pengguna Go-Car cenderung hanya menggunakan layanan sebanyak 1-2 kali dalam seminggu.
Di kategori roda dua, Go-Ride masih menjadi pilihan utama pengguna transportasi online. Dari total responden yang memilih Go-Ride, sebanyak 64% menggunakannya hingga 1-2 kali sehari, sedangkan pemilih GrabBike yang menggunakan 1-2 kali dalam sehari ada 58%.
Untuk layanan online food delivery, Go-Food masih memimpin. Sebanyak 35% responden menyebutkan bahwa Go-Food merupakan layanan yang paling sering mereka gunakan. Sementara 27% responden menyatakan memilih GrabFood.
Tumbuhnya permintaan online food deliverytak lepas dari gencarnya promosi yang dilakukan oleh para penyedia platform pembayaran. Merujuk pada hasil survei, rupanya OVO, aplikasi pembayaran yang digandeng Grab, unggul dalam pembayaran onlinetooffline (O2O), seperti untuk membeli pulsa dan pembayaran di gerai-gerai non-makanan.
Berbeda dengan OVO, Go-Pay, platform pembayaran milik Go-Jek, lebih sering digunakan di pembayaran kedai-kedai makanan-minuman (Go-Food) dan untuk membayar tagihan listrik melalui aplikasi Go-Jek.
Sayangnya, di tengah “gegap-gempitanya” bisnis transportasi online, tindak kecurangan (fraud) pun terjadi. Bahkan, dalam studi yang dilakukan Spire Research and Consulting, fraud di kalangan pengemudi (driver) sudah menjadi rahasia umum.
Fraudmenjadi isu tersendiri. Di satu sisi, fraud dapat menyebabkan kerugian bagi penyedia platform transportasi online, di sisi lain juga menjadi koreksi atas lemahnya sistem yang mereka miliki.
Spire Research and Consulting memperkirakan sebanyak 30% dari order yang diterima Go-Jek terindikasi fraud. Angka itu cukup tinggi jika dibandingkan dengan persentase fraudGrab yang diperkirakan hanya5%. Angka tersebut berdasarkan estimasi jumlah order fraud dibandingkan jumlah total order yang diterima. Ini merupakan masalah sistematis bagi kedua perusahaan dan terutama, permasalahan yang Go-Jek harus segera atasi.
“Perkiraan ini masuk akal karena kami juga melakukan survei terhadap para pengemudi transportasi online,” ungkap Jeffrey. “Di 2018, dari para pengemudi Go-Jek sendiri yang kami survei, 60% di antaranya mengaku pernah melakukan frauduntuk meningkatkan jumlah order mereka yang akan berpengaruh pada bonus dan pendapatan harian yang mereka terima.”
Para pengemudi Go-Jek yang pernah melakukan frauditu mengatakan melakukannya karena menemukan celah yang dapat ditembus dalam sistem Go-Jek. Caranya, dengan menggunakan aplikasi yang dapatmemodifikasi lokasi(mod). Di sisi lain, meski pengemudi Grab tak terbebas dari praktik fraud, namun jumlahnya lebih sedikit, yakni kurang dari 10%.
Para pengemudi Grab mengatakan ketatnya sistem keamanan di aplikasi Grab dapat mendeteksi adanya praktik nakal para pengemudi dan tegasnya sanksi yang diberikan oleh manajemen ditengarai mampu menjadi penghalau niat para pengemudi Grab untuk melakukan tindak kecurangan.Para pengemudi juga menyatakan bahwa kedua perusahaan berusaha untuk memperbaiki sistem mereka dalam mendeteksi fraud.
Saat ini, Grab dan Go-Jek sama-sama berkembang pesat, baik di ranah transportasi onlinemaupun online food delivery, Tanah Air. Akan tetapi, perhatian khusus harus diberikan terhadap aspek fraud demi menjamin perkembangan teknologi dan industri yang sehat. Adapun survei dilakukan terhadap 40 pengemudi dan 280 konsumen atau pengguna yang dipilih secara acak dalam skala nasional. (red/Ju)
Comments are closed.